Arsip untuk Maret 26th, 2008

26
Mar
08

Bor dan Bom

bom2.jpg

PAK Haji marah besar. “Haram, lagu saya dibawakan Inul!” pekiknya berapi-api di depan kamera televisi. Ya, tampaknya Raja Dangdut Oma –yang menabahkan huruf R dan H sepulang dari Tanah Suci– Irama sangat teraganggu oleh putaran bor Inul, dan gemeletar tubuh Anisa Bahar saat berdangdut ria.

Semua orang tahulah. Gaya Inul dan Anisa tidak sekadar merunduk ke kiri, menengadah ke kanan, atau memutar dua tangan mirip gerakan menggulung benang layangan, seperti yang ditampilkan Pak Haji dalam klip Euforia. Inul dan Anisa mah werrrrrr!

Di mata Oma, eh Pak RH Oma, olah tubuh Inul yang muter bak gasing, dan getaran dada montok Anisa bahar yang seperti orang kesetrum itu amatlah mengumbar dan mengundang hasrat birahi. Dan, memancing birahi di depan umum itu haram. Haram! Titik.

“Penampilan mereka sudah mengarah kepada pendangkalan umat. Citra dangdut yang sudah dibangun, kembali terperosok masuk comberan,” ujar Oma yang lagu-lagunya selalu sarat dengan pesan moral dan religi.

Maka beramai-ramailah para musisi dan para pencipta lagu mengancam mencekal Inul dan Anisa. Mereka melarang dua perempuan itu membawakan lagu-lagu ciptaan mereka. Pak Haji juga mendesak stasiun televisi untuk segera menghentikan acara-acara dangdut yang dinilai mengeksploitasi hasrat birahi.

Dangdut memang identik dengan goyang, kata Oma, “tapi goyangan itu harus memiliki rujukan. Mau dibuat erotis atau artistik, tergantung pelakunya. Saya tidak rela lagu-lagu saya dinyanyikan mereka yang menceburkan dangdut ke dalam comberan,” kata Oma lagi.

Dia pasti betul. Erotis atau tidak Inul, juga tergantung kacamata yang digunakan penontonnya. Kalau dari sononya sudah menggunakan kacamata nge-seks, jangankan goyang Inul, penari kuda lumping pun bisa-bisa dianalogikan dengan (maaf…!) adegan sanggama.

Jika Pak Haji sempat menonton Duet Maut yang menampilkan Inul dan Ulfa Dwiyanti di SCTV, mungkin pandangannya akan sedikit berubah. Inul masih tetap dengan gayanya, memutar kencang bornya yang kenyal dan –pasti sangat– tumpul.

Pada saat yang sama, Ulfa sangat cerdik “memecah” kacamata para menonton sehinhgga sajian itu sama sekali tidak terasa erotik, apalagi ngeseks. Kesan yang muncul malah jadi sangat karikatural, kocak, dan cair.

Kami sekeluarga, termasuk anak-anak, menontonnya dan memperoleh kegembiraan, bukan rangsangan seksual, dari apa yang kata Oma cemoberan itu. Anak saya, lelaki, enam tahun, malah tergelak-gelak setiap Inul mulai memelinitir bor bundarnya.

“Kayak bayblade, pak!” serunya berulang-ulang. Di mata dia, putaran pinggul dan bokong itu lebih mirip ‘gasing modern’ yang saat itu digandrungi anak-anak. Dia sendiri punya tiga gasing model itu, warna-warni, yang sering diadunya dengan gasing teman-temannya di pekarangan.

Apa boleh buat, Sang Raja Dangdut telah bertitah. Bahwa titahnya itu mencerminkan pemaksaan kehendak terhadap orang lain tentulah harus jadi catatan pula. Pantas kalah orang sekaliber KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) marah betul sama RH Oma.

“Raja dangdut itu cuma julukan untuk. Bukan kekuasaan. Karena itu, Oma tidak bisa memerintahkan para penyanyi lain mengikuti kemauan dia. Dia dengan berlebihan telah meminta orang lain untuk mengubah ekspresinya. Siapapun yang membatasi kebebasan berekspresi seseorang harus kita lawan,” seru Gus Dur.

Tampaknya urusan ini memang seru. Buktinya, cuma perkara burit, kok sampai melibatkan seorang raja bo’ongan dan mantan presiden betulan harus ikut bicara. Cuma urusan bokong, kok sampai membuat para kiai dan ulama jumhur bermukabalah. Cuma urusan bokong kok sampai jadi topik liputan media internasional sekaliber Time dan BBC.

Saya yakin, Inul dan Anisa atau siapa pun yang mengikuti jejaknya, tak akan kandas hanya oleh pemberangusan yang sangat menyakitkan seperti itu.

Oma Irama sendiri pernah melakukannya dan berhasil. Dulu, ketika media televisi cuma ada satu-satunya, TVRI –yang kini kisruh terus itu– dia dicekal tampil. Toh Oma tak kalah akal. Buru-buru ia menyatakan masuk Golkar –sebelumnya jadi ikon PPP. Maka jelan ke layar televisi pun terbuka lebar.

Bahwa ketika kemudian peta politik berubah dan ia pindah lagi ke PPP, itu soal lain. Ketika masuk Golkar, ia bilang partai beringin berjanggut itu suah lebih islami. Logikanya, PPP kurang islami, dong. Ketika keluar dari Golkar dan masuk lagi ke PPP, boleh jadi ia beralasan PPP sudah lebih islami lagi.

Jadi, jika Inul cs dibungkam dan dilarang oleh orang-orang di jalur dangdut, pindah saja ke jalur rock, pop, keroncong, dan lain sebagainya.

Malah, siapa tahu ia bisa membangkitkan pula fenomena baru di jalur-jalur musik itu, sehingga yang muncul bukan lagi sekadar ‘ngebor’ tapi mungkin ngebom. Toh, Oma sendiri menciptakan trend baru dangdut setelah mengkolaborasi konsep sajiannya dengan rock. Dan itu sah-sah saja.

Sangat boleh jadi bor Inul memasuki babak kontroversi baru yang akan sangat panas, jika saja tidak ada insiden ledakan bom di Bandara Soekarno Hatta yang megalihkan perhatian pers dan publik. Soalnya, di tengah serunya orang berdebat (lagi) soal ngebor, tiba-tiba bom meledak.

Low eksplosif, kok!” kata polisi. Entah low, entah high yang jelas perhatian publik sempat teralih ke sana. Apalagi korban luka berjatuhan, bahkan seorang perempuan muda bernama Yuli tiba-tiba kehialngan sebelah kaki.

Bayangkan, seorang perempuan pekerja –pengasuh bayi– tiba-tiba kehilangan kaki. Bagaimana ia akan bisa bekerja dengan baik? Bagaimana ia akan bisa membimbing bayi belajar jalan? Bagaimana dia akan mencari nafkah setelah itu?

Bom telah mengubah hidupnya, persis seperti ‘bor’ mengubah hidup Inul. Jika kereativitas –atau entah apa pun namanya– Inul diberangus, dipotong, dan dibatasi pencekalan, samalah artinya dengan Yuli –coba kalau namanya Iyul!– yang terpaksa diamputasi kakinya karena bom.

Di luar itu semua, dua peristiwa di atas –heboh bor dan bom– hanyalah makin menunjukkan bahwa selalu ada orang yang berusaha memaksakan kehedaknya kepada orang lain, tak peduli orang lain itu tersiksa dan tertindas seperti Inul atau bahkan celaka seperti Iyul, eh Yuli.

Sekian puluh tahun merdeka, ruapanya bangsa ini belum juga belajar dewasa. Kaciaaan…. deh.

* Bandung 280403
26
Mar
08

Sang Raja

rhoma_irama.jpg

‘DUEL‘ belum selesai. Raden Haji (RH) Oma Irama mengadukan sebuah tabloid ke polisi. Tuduhannya, mencemarkan nama baik, menyebar fitnah, melakukan perbuatan tidak menyenangkan.

Gara-garanya, tabloid itu memberitakan bahwa Oma kepergok sekamar berdua dengan Angel, semalam suntuk sampai menjelang subuh. Angel adalah lawan mainnya dalam film yang sedang ia garap, Ibnu Sabil.

Baik Oma maupun Angel tentu saja menolak berita yang menurut mereka insinuatif itu. Oma bilang, ia datang ke apartemen –bukan kamar– tempat tinggal Angel untuk mengambil naskah skenario yang tertinggal di sana. Angel bertutur ia belajar mengaji.

Apa yang mereka lakukan sesungguhnya? Hanya mereka yang tahu. Orang tak perlu usil mengusik dan mengintip-intip apa yang mereka perbincangkan –kalau pun memang sekadar berbincang. Orang juga tak perlu nyinyir menyoal bahwa pasangan bukan muhrim itu berada di ruang yang sama untuk kurun yang begitu panjang, malam sampai subuh.

180px-angel_lelga.jpgKetika ada kabar Oma sedang berduaan di tempat tinggal Angel, kontan saja pers memburunya. Dan, kabar itu pun meledak, menjalar-jalar di setiap tayangan infotainment televisi swasta, dan jadi sajian utama media-media cetak yang haus sensasi.

Ternyata cerita ke arah ‘pengungkapan’ skandal Apartemen Semanggi itu juga berlika-liku, persis mirip opera sabun colek produksi rumah produksi lokal. Konon, kehadiran wartawan di apartemen itu atas info Pangky Suwito, yang juga tinggal di apartemen yang sama.

Pangky adalah suami Yatie Octavia, aktris sensual pada masanya (tahun 1970-an) dan pernah jadi lawan main dalam film produksi PT Rhoma Film, yang disutradarai sekaligus diperanutamai Oma sendiri. Konon pula, Oma pernah naksir Yatie, sebagaimana ia menaksir –dan kemudian memperistri- Ricca Rachim, juga pasangan mainnya dalam film.

Begitulah, Oma pun perang mulut dengan Pangky-Yatie, kemudian ‘duel’ tuntutan dengan tabloid tadi. Disebut duel, ya karena memang ini perseteruan langsung antara dua pihak. Berhadap-hadapan. Oma di satu kubu, dan pihak lain di kubu seberang.

Di mata Oma, apa yang menimpanya hari-hari itu, adalah sebuah upaya sistematis untuk memojokkan dia yang sedang gencar memerangi apa yang disebutnya sebagai melawan pornografi dan pornoaksi. Sebuah gerakan moral di tengah arus permisifisme yang kian menggejolak.

Apa pun namanya, tahap-tahap peristiwa yang kemudian diliput luas media massa itu telah membuat Oma kembali jadi pembicaraan banyak orang. Selama pekan-pekan kemarin para penggemarnya bisa memuaskan kerinduan mereka pada Satria Bergitar ini karena hampir saban hari Oma terlihat di layar televisi.

Di luar itu semua, Oma tetaplah Oma. Keberadaannya di tengah realitas kekinian, sebagai tokoh publik –dan karena itu segala tindak-tanduknya jadi perhatian– pun berangkat dari fenomena yang berkembang, diperkembangkan, dan memperkembangkan dirinya, bersamaan dengan kiprahnya di dunia musik.

Keberadaannya di pentas musik nasional yang hingga kini tampaknya belum tergantikan siapa pun itu, juga dilaluinya dengan duel sungguhan yang menandai sejarah musik negeri ini.

Dangdut. Ya, dangdut –bermula dari istilah sinis dan mengejek untuk irama musik Melayu yang menggelitik– kini bisa dibilang merajai musik di berbagai lapisan masyarakat di tanah air. Dulu, “Dangdut itu musik tahi kucing!” pekik seorang rocker saat itu (pertengahan 1970-an).

Kalau tak salah, yang menghujat musik Oma itu adalah pentolan Giant Step, grup rock ternama dari Bandung. Boleh jadi, Giant Step pun rocker sejati made-in republik. Sebab grup inilah yang pertama kali berani manggung dengan lagu-lagu rock gubahan sendiri ketika publik musik rock didemami Deep Purple, Led Zeppelin dan Rolling Stone.

Polemik yang disulut ‘tahi kucing!’ itu akhirnya berpuncak pada dialog yang memperhadapkan Benny Soebardja, pentolan Giant Step dengan Oma Irama, komandan Soneta.

Dan, polemik itu berpuncak di Senayan dalam sebuah duel sungguhan antara dua kelompok musik. Saat itu tahun 1979. Inilah sesengguhnya duel maut pertama dalam pentas musik kita, dan hingga kini mungkin belum tertandingi.

Itu terjadi di Istana Olahraga (Istora) –kini Gelora Bung Karno– 24 tahun silam. Berdiri di satu sisi adalah God Bless, dengan Achmad Albar sebagai komandan. Di kubu berlawanan, tegaklah Oma Irama memimpin pasukan Orkes Melayu-nya, Soneta.

Seingat saya, ini duel paling spektakuler di ujung dekade itu, sekaligus sebagai puncak perseteruan panas dan tajam lewat polemik yang meluas di antara para seniman. Di situ pula revolusi musik dangdut di tanah air mencapai titik ledak, dan virusnya menjalar serta mendemami hampir setiap orang hingga saat ini.

Kini, rasa-rasanya tak satu pun orang Indonesia tak kenal dangdut. “Sejak rapat‑rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Oma Irama,” tulis William H Frederick, doktor sosiologi Universitas Ohio, AS, yang pada 1980-an meneliti Oma dan fenomenanya.

“Kemampuannya” mengundang massa itu pula yang kemudian membuat Oma jadi rebutan partai politik, sampai kemudian ia jadi anggota parlemen. Ia juga loncat dari PPP ke Golkar dan balik lagi ke PPP, ketika angin perubahan mulai terasa.

Kini, ia lebih sering tampil sebagai juru dakwah. Jemarinya hampir tak pernah lepas menggenggam tasbih. Kata-katanya pun selalu sarat dengan idiom, istilah, dan pesan-pesan agama. Boleh jadi, ini pula yang membuat orang-orang jadi penasaran, sehingga apa pun gerak-geriknya selalu diperhatikan dan diincar.

Orang bilang, makin tinggi pohon tumbuh, kian kencang angin menerpa. Begitulah. ***

Bandung, 260503

26
Mar
08

“Drilling Company”

drillingcompany_inul.jpgSEORANG teman terkekeh-kekeh ketika menerima pesan pendek (SMS) dari rekannya. Isinya singkat: Trhtng 7 Aprl saya tdk lg di Jkt. Pindah krj ke ID.Co (Inul Drilling Company). Guyon, tentu saja. Tapi canda lewat SMS itu diterimanya ketika teman saya tadi sedang suntuk memeloti pergerakan bursa saham

Masalahnya, Halliburton, jaringan bisnis pengeboran dan kontraktor, ternyata mendapatkan megaproyek untuk merehabilitasi kehancuran Irak, mulai dari pemadaman ladang-ladang minyak dan membuka ladang baru sampai pemulihan infrastruktur yang remuk redam akibat perang.

Amerika sendiri sudah mencanangkan 600 juta dolar (kalikan Rp 9.000, berapa trilyun, tuh!) untuk membangun jalan-jalan, rumah sakit, sekolah dan proyek-proyek penting lainnya di Irak. Kok bisa? Perang berlum selesai para kontraktor sudah berebut proyek.

“Itulah oke-nya Amerika. Negara yang mengaku paling demokratis namun memaksakan kehendak kepada negara lain itu, ternyata juga tak kalis dari KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme. Halliburton itu misalnya, adalah milik Dick Cheney, Wakil Presiden AS!” gerutu teman saya tadi.

Terbukti, katanya lagi, penyerangan ke Irak tidak semata karena Saddam punya senjata pemusnah massal, melainkan karena ekonomi AS sedang kacau. Bush perlu minyak, dan Iraklah negeri pemilik salah satu cadangan terbesar minyak di bumi. Bush mau mengebor Irak untuk keuntungannya sendiri.

“Padahal, kalau cuma mau mengebor sih, kita punya bor yang pasti tak akan menyebabkan pertumpahan darah. Inul!” katanya ngakak. Dan terbukti, Inul menghipnotis ribuan penonton di Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta 2 April lalu, ketika membuka Las “Asereje” Ketchup.

Ya, kiprah Inul yang melejit sepanjang Maret lalu, tiba-tiba terlindas gemuruh berita perang. Padahal, penampilan satu panggungnya dengan tiga cewek Spanyol itu –di Jakarta 2 April dan di Surabaya 9 April– merupakan debut baru penyanyi yang ‘pengeboran’nya lebih hot ketimbang suaranya itu.

Baik Ketchup maupun Inul sama-sama menjalarkan trend baru dalam dunia musik, tidak hanya di negaranya masing-masing melainkan di jagat musik dunia. Ketchup dan Inul sama-sama berangkat dari penyanyi biasa yang mendadak terkenal ke seantero penjuru dunia.

Bedanya, Las Ketchup sudah menelurkan album dan laris bak kacang goreng, sementara Inul belum pernah. Yang terjadi, Inul telah membuat kaya raya para pembajak dan saudagar VCD bajakan yang mengedarkan rekaman penampilan panggungnya. Toh, VCD bajakan itu pula yang melontarkan inul ke panggung selebiriti berkelas, kini. Tak hanya di tanah air, tapi di penjuru dunia.

Tentang Inul, misalnya, Time, majalah terkemuka bertiras global, menurunkan liputan khusus yang luar biasa bagus, terutama bagi para penyanyi dan komunitas dangdut di negeri ini. Inul disebutnya sebagai idola baru yang sedang memanaskan arena budaya (musik) pop Indonesia.

Untuk membuat laporan itu, reporter Time menguntit perjalanan manggung Inul ke berbagai tempat, termasuk ke Pelaihari. Saat itulah Inul banyak curhat kepada sang reporter. Misalnya, mengapa kaum agamawan itu beraninya hanya sama dia, sementara soal korupsi seperti dibiarkan begitu saja.

Awal Februari, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pernyataan mengecam tarian dan mencekal Inul melakukan show. Sebab sesuai Fatwa MUI Juli 2002, apa yang dilakukan Inul termasuk aksi pornografi. Penampilan Inul dianggap tidak mendidik dan membahayakan moral generasi bangsa.

Kabar tak kalah heboh kembali dialami Inul saat salah satu media memuat foto dan memberitakan suami Presiden Megawati Sukarnoputri, Taufik Kiemas tengah memeluk Inul seusai keduanya mengisi acara televisi.

“Mengapa mereka begitu peduli padaku, sedangkan VCD porno dan pelacuran marak di jalan‑jalan. Mereka memilih aku karena aku sasaran yang mudah,” ujarnya. Pada laporan itu pula Time membandingkan Inul dengan Eminem yang tak peduli apa pun kata orang.

Time menyimpulkan, Inul telah menjembatani kebebasan berekspresi yang lahir bersama munculnya era reformasi, dengan moral masyarakat yang tertutup dan munafik. Dia satu dan satu‑satunya yang bisa bertahan dalam persaingan keras industri musik Indonesia. Dia adalah sosok yang sebenarnya diinginkan banyak orang, namun orang-orang itu malu mengakuinya secara terus terang, tulis majalah itu.

Dan, banyak di antara kita seringkali masih berperilaku seperti itu. Munafik. Menyatakan tidak, padahal iya. Menyatakan benci, padahal senang setengah mati. Inul, mungkin satu di antara sedikit orang yang berusaha tampil apa adanya.

Bahwa kemudian muncul berbagai tanggapan, kecaman, pujian, bahkan sampai rekomendasi agar para ulama menerbitkan ‘fatwa haram’ itu lain soal. Toh di kalangan para ulama pun tampak pandangan yang berbeda ketika melihat Inul.

gus-mus-inul.jpgKH Mustofa Bisri, misalnya, terang-terangan melawan arus dengan memamerkan lukisan karyanya tentang Inul, justru di mesjid besar Surabaya. KH Zaini A Ghoni, malah mengangkat wanita muda itu sebagai anak angkat, sekaligus mendoakannya agar Inul tetap sabar. Langkah kontroversi dua ulama kharismatik ini pula yang diam-diam mengangkat Inul ke panggung perbincangan global bernuansa politik dan budaya.

Sayang, memang, ‘diskusi’ publik mengenai fenomena Inul dengan ngebornya, terlindas hiruk pikuk berita penyerbuan Amerika ke Irak, yang ujung-ujungnya sih ingin merebut ladang minyak Irak dan mengebor sendiri demi kepentingan ekonomi Amerika. Dasar!

* Bandung, 070403

 

 

inul2_jpg.jpg

Mereka Menatap Inul

The Straits Times
[19/3/2003]
Inul Daratista yang jadi objek lukisan KH Mustofa Bisri, menyebabkan ulama itu jadi sasaran kritik. Ulama nyentrik ini menganggap protes dan kritik itu sebagai hal wajar.
ABC Radio Australia News
[14/03/2003]
Inul jadi sorotan publik karena gaya panggungnya yang erotik. Ulama di beberapa provinsi mendesak pihak berwenang melarang Inul tampil di wilayahnya.
NEWS 24 ‑ South Africa
[05/03/2003]
Ulama karismatik di Kalimantan Selatan, KH Zaini Abdul Ghoni (Guru Sekumpul) mengundang Inul dan mendoakannya agar penyanyi itu kuat dan sabar menghadapi berbagai kecaman.
DAILY TIME ‑ Pakistan
[05/03/2003]
Inul Daratista yang dikecam oleh sejumlah ulama, justru diangkat sebagai anak oleh KH Abdul Ghoni, ulama besar di Martapura, Kalimantan Selatan.
BBC ‑ London
[06/03/2003]
Ulama besar Kalimantan, Zaini Abdul Ghoni mengakui Inul sebagai anak angkat dan mengundangnya untuk mengikuti pengajian-pengajian di pesantren Sekumpul, Martapura, pimpinan kiai itu.
South China Morning Post
[25/02/2003]
Inul adalah gadis dusun yang melesat bagai roket, perjalanan karirnya mirip Jennifer Lopez yang secara tiba-tiba menuju puncak ketenaran.
26
Mar
08

Dangdut, Ja…!!

dangdut_je.jpg

DUA virus menyebar dalam tempo hampir bersamaan sejak awal 2002 sampai memasuki 2003. Jenisnya sama. Musik. Yang satu, dangdut. Satunya lagi latin. Keduanya juga menjalarkan demam yang sama sekaligus membangkitkan perlawanan yang menggunakan bingkai moral dan keyakinan.

Di beberapa tempat, kalangan ulama dan rohaniwan gerah dan menyerukan agar masyarakat lebih arif memilih hiburan. Malah di satu dua tempat ada yang meminta polisi turun tangan untuk membersihkan Inul Daratista yang beredar dalam kepingan-kepingan cakram kompak video.

Di tempat lain, terutama di forum diskusi internet, para mailist, gentayangan seruan untuk mewaspadai Las Ketchup dengan lagu dan dansa Asereje-nya. “Itu pemujaan setan, dan provokasi untuk bersahabat dengan iblis!” demikian antara lain seruan yang menyebar lewat e-mail itu. Dan, polemik pun menjalar.

Seorang teman, aktor teater yang juga penata tari terkekeh-kekeh ketika obrolan kami memasuki dua ‘virus’ yang dipompakan industri musik itu.

“Inul? mengapa harus diperangi? Ia cuma memperagakan gelinjang alami yang secara naluriah muncul sendiri dari diri setiap orang pada situasi tertentu. Mengapa harus ditepis, ditolak, dan disingkirkan. Lha kita sendiri sering sering melakukannya, kok..” katanya enteng.

Iya, sih. Tapi Taufik Kiemas menuai “badai” polemik politik ketika media mempublikasikan gambar-gambarnya sedang memeluk Inul, yang menurut Tjahjo Kumolo –orang dekat Kiemas– itu sekadar foto biasa, ibarat ayah dan anak.

Di Surabaya seorang ibu rumah tangga dilarikan ke rumah sakit gara-gara mencoba bunuh diri. Ia jengkel setengah mati karena suaminya yang kepincut habis goyang Inul. Sang suami tidak lagi pernah menyentuh dirinya. Saban malam, kerjanya cuma duduk di depan pesawat televisi menonton aksi panggung Inul, tentu saja lewat VCD bajakan!

Teman saya itu terbahak. “Kalau itu mah, bukan salah Inul. Inul cuma mengekspresikan perasaannya saat menyanyi. Bahwa gerak-gerik, gesture, yang kemudian muncul itu kemudian membangkitkan birahi penonton, ya salah yang nonton. Birahinya kok encer banget, terangsang hanya oleh tampilan virtual elektronis!”

Lagi pula, teman lain –yang ini pengajar di sekolah tinggi seni tari– menimpali, gerakan yang ditampilkan Inul maupun penyanyi lain, entah itu Alam, atau bahkan Liza Natalia si Ratu Joget, sesungguhnya tak menunjukkan banyak perbedaan.

“Perbedaannya kecil, cuma pada konsep gerak. Mereka tentu sudah punya konsep masing-masing yang disesuaikan dengan berbagai tuntutan. Antara lain pengaruh dari jenis lagu, musik, maupun acara dibawakan,” kata dia.

Inul misalnya, ia cuma mengangkat kembali gerakan-gerakan umum. Hanya saja lebih memberi titik berat penonjolan pada unsur sensualitas dan erotis. “Mungkin ini memang konsep yang sengaja dipilihnya untuk tampil di atas pentas.”

Bahwa konsep itu pula yang kemudian dia gunakan saat pemuatan klip, itu soal lain. Di sini produser lah yang jeli melihat celah pasar. Tapi ia masih kalah jeli oleh para pembajak. Itu sebabnya, Inul menyebar lewat jutaan keping VCD yang murah meriah. Tiap orang bisa memperolehnya dengan mudah di tepi jalan, dan demam goyang bernuansa esek-esek itu tak bisa dibendung lagi.

las_ketchup_1.jpgHal sama terjadi atas trio Las Ketchup. Industri rekaman yang di Indonesia “diperlebar” oleh para pembajak, telah membuatnya mencapai puncak popularitas dalam waktu dekat dan kemudian menjalarkan demam yang sulit ditandingi. Di luar negeri, Asereje langsung melesat ke puncak hits lagu-lagu pilihan. Di Spanyol, bahkan dijadikan lagu maskot tim tim bola basket nasional.

Di tanah air, hanya dalam tempo kurang dari tiga bulanan sejak peluncurannya, Asereje, sudah mulai menggantikan demam Poco-poco yang sempat bercokol dalam diri penggemarnya terutama dalam dua tahun terakhir.

Jika Inul dipersoalkan karena goyangannya yang bisa bikin menggigil ‘lelaki gampang naik’, maka Asereje jadi polemik –konon– karena liriknya yang mengajak orang untuk memuja setan, iblis, dan melupakan tuhan.

“Simak liriknya. Di situ diceritakan seorang lelaki tampan, namanya Diego. Pesonanya menghipnotis siapa saja. Diego –dalam terminologi Gereja Setan– adalah nama panggilan bagi Devil, setan!” tulis seorang mailist.

Dan harus diingat, kata penulis itu, bahwa Lucifer adalah iblis yang rupawan dan ahli musik, termasuk dansa. “Perhatikan lirik awalnya tentang sebuah pesta Jumat Malam. Ini merupakan hari kramat bagi setan. Perhatikan pula kombinasi ras si Diego, yaitu Afro‑Gipsy Rastafarian. Afro atau Afrika terkenal dengan tarian pemujaannya. Gipsy berbicara tentang peramal dan penyihir. Dan Rasta adalah sebuah mode yang lekat dengan pemberontakan dan Narkoba.”

Belum yakin? Ayo simak refrein lagu yang dari segi melodi sebenarnya sederhana, manis, ringan, cair, dan sangat akrab itu:

asereje ja de je de jebe tu de jebere seibiunouva,
majavi an de bugui an de buididipi,
asereje ja de je de jebe tu de jebere seibiunouva,
majavi an de bugui an de buididipi

Dalam bahasa Spanyol, ini nggak ada artinya, tapi bila dilagukan dengan ritme seperti itu, bagi orang Spanyol akan terdengar seperti, “Jadilah sesat, Tuhan itu tidak ada…, (atau bisa berarti; sesat bila mempercayai Tuhan) tinggalkan imanmu saat ini…. mereka akan datang ke bawah, dan mereka akan memandu kita…. ja!”

Memang, kata Kathrine Marshal, dari Institut Paranormal South Hampton, AS, dalam bahasa sebuah suku di bagian barat laut Afrika, asereje mirip dengan dialek mereka dalam sebuah upacara pemanggilan arwah orang yang mati karena kecelakaan. Tapi, apa betul lagu itu merupakan ajakan untuk menyembah sesuatu selain Tuhan, masih belum ada yang bisa menjawab.

Lagi pula, sah-sah saja orang mengajak –dan tidak mengajak– orang lain untuk menyembah –atau tidak menyembah– sesuatu. Bahwa ajakan itu diikuti atau tidak, sepenuhnya tergantrung kepada pihak yang diajak. Jika ia tak punya pendirian dan tak punya keyakinan, tentu saja akn dengan mudah diajak melakukan apa saja, juga melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi umum.

Begitu pula ketika para lelaki melihat goyangan Inul. Ia bisa tergiur dan terangsang, bisa sebal, bisa merasa lucu, bisa pula tidak merasakan sensasi apa-apa, tergantung kendali emosi dan rasa masing-masing. Jadi mengapa harus ribut?

Padahal, siapa tahu heboh yang meledak-ledak itu sebenarnya sengaja diciptakan oleh para produser untuk memunculkan kontroversi. Dengan begitu, poduknya jadi bahan pembicaraan banyak orang. Makin banyak dibahas, kian banyak yang penasaran, semakin besar peluang pasar yang tercipta. Ja! ***

Bandung, 07-13/02/03




Maret 2008
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31