Arsip untuk Maret 2nd, 2008

02
Mar
08

Al Zaanin

victim.jpg

DARAH mengalir dari lubang di dadanya. Menyebar merembesi bajunya bercampur debu padang pasir dalam ruap bau mesiu. Ia menggelepar sejenak. Mengejang. Lalu kaku.

Satu lagi hari itu nyawa melayang. Hassan Al Zaanin terlalu muda untuk mati. Tapi siapa peduli? Usianya baru 18. Siapa pula yang peduli, kecuali pencatat angka-angka korban konflik di Tepi Barat?

Dan, saban hari daftar korban tewas itu semakin panjang saja, seolah kematian tak berarti apa-apa. Sebelumnya, sudah lebih dari 5.000 remaja sebaya Zaanin kehilangan nyawa disambar kekejian peluru, roket, bahkan rudal, serdadu Israel.

Para remaja yang bertumbangan itu sebagian besar bukanlah para pemberontak dan orang-oran yang bergerak di bawah tanah untuk melawan kekuasaan Israel.

Jika pun mereka terlibat dalam intifadah, lebih karena terpaksa harus melawan –setidaknya mengusir– para serdadu Yahudi yang dengan keangkuhannya seolah merasa berkuasa atas seluruh jazirah Palestina. Keangkuhan yang kemudian membangkitkan perlawanan berlanjut dari bangsa Palestina.

Memang. Al Zaanin, bukanlah siapa-siapa. Hari itu di awal Juli di bawah terik sengangar di Beit Hanun, ia melihat gerilyawan garis keras Palestina memasang sebuah bom di tepi jalan untuk menghadang tentara Israel di Jalur Gaza.

Tentara Israel mengambil alih Beit Hanun setelah serangan roket para pejuang Palestina yang menewaskan dua orang di Israel selatan, tepat di seberang perbatasan. Dan, menyatakan akan menghancurkan gerilyawan garis keras di Beit Hanun.

Tentu saja para gerilyawan tak tinggal diam. Mereka menyiapkan penghadangan antara lain dengan memasangi bom di jalan-jalan yang diperkirakan akan dilintasi serdadu Yahudi. Namun warga tampaknya takut pengeboman di tepi jalan akan memicu serangan besar-besaran ke daerah yang diduduki kembali itu.

Hassan al‑Zaanin, bersama warga lain yang mungkin sudah bosan kekerasan, menyaksikan aksi penghadangan itu. Mereka melihat ketika sejumlah pria bersenjata memasang bom di tepi jalan, dan meminta itu untuk menghentikannya. Tentu saja permintaan itu ditolak.

Warga terus mendesak. Kaum gerilyawan tetap ngotot. Dua pihak yang sesungguhnya masih dalam satu kubu ini pun bersitegang, sampai para pria bersenjata itu melepaskan tembakan ke udara untuk mengusir warga. Dan, akhirnya menembak ke arah kerumunan.

Di situlah Zaanin. Ia tersungkur dengan dengan dada disarangi peluru. Ia tewas dalam perjalanan ke rumah sakit.

Zaanin bukanlah satu-satunya korban di pihak Palestina sejak perseteruan meletus kembali menyusul perangai Israel yang tetap memaksakan kehendaknya menguasai seluruh jazirah.

Sebelum Zaanin, ada 5.022 sebayanya telah gugur. Belum lagi 950-an madrasah hancur –dan 300 sekolah dijadikan markas militer Israel– sehingga 9.000-an pelajar tidak lagi dapat bersekolah.

Serdadu Yahudi juga menghancurkan 8.000 rumah, sehingga 70 ribu warga Palestina kehilangan tempat tinggal, sementara 26 ribu lagi warga cedera akibat kekerasan Zinonis.

Akibat lain –yang tak kalah mengerikan– adalah 3.000-an perempuan hamil terpaksa melakukan aborsi karena tidak memperoleh akses ke rumah sakit dari Israel, 40 persen dari 3 juta warga Palestina hanya makan sekali sehari dan 70 persen penduduk Palestina kehilangan lapangan pekerjaan.

Ya, Zaanin adalah salah satu korban, salah satu cermin tentang sosok yang terjepit di tengah konflik tak berkesudahan, karena masing-masing pihak tampaknya memang tidak ingin menyudahinya.

Ia juga menggambarkan bahwa di kalangan warga Palestina sendiri sudah berkembang pendapat untuk menyudahi saja kekerasan dalam mengekspresikan perlawanan terhadap musuh, dan mencari cara lain yang tidak terlalu mengalirkan darah warga sipil tak bersalah.

Jika di kalangan warga sipil biasa ada sosok seperti Zaanin, di tataran elite juga muncul berbagai organisasi dan faksi yang mulai menunjukkan pandangan berbeda, bahkan terkesan berseberangan satu sama lain, meski mereka tetap terikat pada satu tujuan utama: berjuang untuk memerdekakan Palestina.

Sebagai warga negara yang peduli dengan negaranya, seluruh warga Palestina harus terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, walaupun masing‑masing caranya berbeda. Bisa lewat militer, politik dan sosial.

Jika kaum radikal tetap memilih perlawanan bersenjata lewat gerilya, intifada, bahkan aksi bom bunuh diri, maka kelompok lain memilih cara yang berbeda pula. Melalui diplomasi, aksi-aksi sosial, gerakan dinta damai antarbangsa. Termasuk antara bangsa Palestina dan Yahudi sendiri, karena di antara bangsa Israel pun ada yang lebih mencintai perdamaian dan hidup rukun bersama tetangga Arab-nya.

Tapi, Israel di bawah Ariel Sharon adalah Yahudi dalam karakternya yang se­ja­ti. Ia justru seperti sengaja menghapus jejak-jejak semangat perdamaian yang dipancarkankan warganya, bahkan pernah juga digalang pada masa Rabin dan Peres.

Sharon telah menempatkan diri sebagai puncak ke­­benaran dan keadilan itu sendiri. Orang lain, bangsa lain, ti­dak. Karenaya, dia tak peduli seluruh bangsa mengutuknya.

Dia tak melihat kecaman marak di mana-mana. Sharon adalah Sharon. Baginya, dunia ini hanyalah Israel dan (pas­ti) Amerika yang seolah jadi bapak moyangnya, dan kalau perlu dibangkanginya pula.

Kegelisahan dunia internasional, terutama Bang­­­sa Arab terbukti sudah. Sang Jenderal Haus Darah –demikian sa­lah satu julukannya– telah menancapkan taringnya mencabik per­damaian dan merobek-robek rasa kemanusian banyak bangsa di dunia.

Lihat saja, bagaimana ia tak mempedulikan hasil pemungutan suara sidang darurat Majelis Umum PBB belum lama ini yang menunjukkan bahwa sebagian besar negara anggota PBB mendukung resolusi yang mengharuskan Israel mematuhi keputusan Pengadilan Internasional bahwa pembangunan tembok pengaman di Tepi Barat, Palestina, adalah ilegal. Artiya, Israel harus membongkar tembok itu dan segera memperbaiki segala kerusakan fisik yang terjadi.

Apa yang terjadi? Tentu saja atas dukungan penuh Amerika Serikat –celakanya ia punjya hak veto di PBB– Israel menentang resolusi tersebut. Boro-boro menghentikan dan membongkar beenteng, mereka malah melanjutkan pembangunannya.

Bayangkan, 150 negara yang mendukung resolusi itu, ternyata kalah ‘suara’ hanya oleh dua negara. Israel dan Amerika!

Mungkin betul kata Akram Adlouni, masalah Palestina, termasuk kemerdekaan negeri itu, sebenarnya bukan hanya milik rakyat Palestina dan urusan bangsa Arab. “Masalah Palestina adalah urusan umat Islam di seluruh dunia,” ujar Sekretaris Jenderal Yayasan Al-Quds yang berbasis di Beirut.

Ya. Dan –konon– lebih dari 90 persen penduduk Indonesia ini adalah muslim. Seperti Adlouni. Seperti Arafat.

Seperti juga Zaanin. ***

Bandung, 230804

02
Mar
08

Ramon

ilan_ramon.jpg

ILAN Ramon tersenyum lebar di dalam kabin penerbangan tiruan pesawat ulang-alik di tempat pelatihan di Houston Texas. Di sebelahnya Itzhak Mayo, rekan senegaranya, yang juga tengah mengikuti seleksi astoronot penerbangan ulang-alik. Mereka adalah dua di antara sedikit orang dari ribuan peserta seleksi calon astronot.

Adegan itu direkam 16 Juli 1998, tepat setahun setelah Ramon dinyatakan lulus sebagai calon astronot pesawat ulang-alik, 16 Juli 1997. Di antara dua tentara Yahudi itu, Ramon lulus dan jadi salah satu awak pesawat ulang-alik Columbia.

Bersama enam awak lainnya, Ramon bertolak menunuju angkasa luar pada 16 Januari 2003, dalam misi yang dijadwalkan berlangsung selama 16 hari (waktu bumi). Tapi, seperti yang kita saksikan bersama, pesawat itu terbakar dan meledak jadi serpihan-serpihan kecil, 16 menit sebelum mendarat.

Ilan Ramon (48) adalah kolonel Angkatan Udara Israel dan astronot pertama Israel yang tewas dalam ledakan Columbia, Sabtu (1/2/2003). Pada tahun 1981 ia dikenal sebagai salah satu penerbang tempur termuda yang dikirimkan Israel dalam misi pengeboman atas wilayah Ossirak di Irak.

Dalam latar belakang riwayat hidupnya yang dipublikasikan CNN Ramon disebutkan ikut pertempuran Yom Kippur tahun 1973 dan penyerbuan Lebanon tahun 1982. Kepergiannya ke Amerika untuk memasuki dinas astronot memperoleh dukungan kuat negaranya.

Ia jadi kebanggaan bangsa Yahudi, di tengah situasi yang kini memanas di Teluk menyusul perseteruan yang tak pernah habis antara Israel-Palestina, dan kini dalam bayang-bayang perang AS- Irak, di mana Israel menjadi sekutu utama yang paling dekat.

Sehari sebelum Columbia mengangkasa, media Israel menyiarkan secara lengkap riwayat hiudup Ramon. Dua pekan kemudian, warga Israel tersentak oleh kejutan di ujung lengkung atmosfer di atas Texas. Columbia celaka sebelum dijadwalkan mendarat di Pusat Antariksa Kennedy, Florida, pukul 09:16 waktu setempat.

Menurut NASA, pesawat itu hilang dari layar radar pukul 09:00 waktu setempat, Sabtu, saat melewati Dallas, Texas. Pesawat itu diperkirakan sudah pecah berantakan di ketinggian di atas bumi, dan jatuh sebagai hujan logam yang tercurah dalam radius ratusan kilometer.

Ada tujuh astoronot Columbia yang tewas bersama hancurnya pesawat ulang-alik itu. Namun Ilan Ramon lah yang paling banyak disebut pada berita-berita pertama mengenai insiden itu. “Mengerikan. Ada apa ini? Kenapa berita‑berita itu terus menyebut orang Israel itu, padahal ada enam astronot lain dalam pesawat itu,” kata seorang warga Queens, New York, sebagaiman dikutip media setempat.

Ya, mengapa? Apa karena Ramon adalah orang Yahudi pertama yang jadi astronot? Atau, ia sengaja disimbolkan oleh media Amerika –yang sebagian besar dikuasai jaringan Yahudi– untuk mencitrakan Israel yang kini sedang disorot karena kebijakannya menggasak habis Palestina tanpa peduli tata-krama internasional. Entahlah.

Yang jelas, di antara para astronot itu ada dua yang tak kalah istimewa dibanding Ramon. Mereka adalah Laurel Clark dan Kalpana Chawla, keduanya wanita. Tentu saja emosi publik akan lebih tergugah jika fokus peliputan diberikan kepada mereka, tentu tanpa mengesampingkan peran lima pria yang –ujung-ujungnya sih– sama-sama jadi debu di atas gurun pasir Texas.

Chawla, misalnya, juga jadi istimewa karena dia bukanlah asli urang Amrik. Wanita berusia 41 tahun ini kelahiran Karnal India, dan –seperti Ramon– jadi kebanggan negara itu meski yang bersangkutan sudah pindah jadi warga negara Amerika.

Chawla merupakan wanita pertama yang diterima di Perguruan Tinggi Keahlian Teknik Punjab, India. Tahun 1980‑an ia berangkat ke AS, dan memperoleh gelar doktor di bidang aeronautika dan bergabung dengan Badan Antariksa AS (NASA) pada 1988.

Ia terpilih jadi astronot pada 1994 setelah menjalani pelatihan dan evaluasi. Tiga tahun kemudian, ia mencapai mimpinya ketika terbang dengan pesawat ulang‑alik STS‑87. Chawla adalah wanita keturunan India pertama yang pernah pergi ke angkasa luar dengan Columbia. Penerbangan kali ini merupakan ekspedisinya yang kedua di angkasa luar.

Artinya, perempuan ini jauh lebih berpengalaman ketimbang Ramon. Ia sudah mengantongi ribuan jam terbang ke angkasa luar dalam misi sebelumnya. Tak heran jika majalah India Today menempatkan dia di sampul edisi khusus mengenai kemakmuran India, dengan tulisan “Buatlah Kami Bangga” untuk mengiringi kepergiannya.

Di kampung halaman Chawla, di negara bagian Haryana di India Utara, ratusan orang berkumpul untuk menonton siaran langsung kembalinya Columbia. Mereka tengah bersiap meledakkan pesta merayakan pendaratan pesawat ulang‑alik tersebut ketika mendengar malapetaka itu.

Hampir seluruh saluran berita India mengarahkan langsung ke tempat bencana di Texas ketika berita (mengenai hancurnya pesawat ulang‑alik Columbia) sampai di India Sabtu malam. Stasiun‑stasiun televisi itu mengulang lagi sketsa biografis yang menunjukkan kemunculan Chawla dari satu keluarga kelas menengah yang sederhana di satu kota kecil India menjadi anggota program angkasa luar elit Amerika. Meski berujung pada kematian.

Tapi, itu tadi, ketika pesawat itu ternyata menemui bencana, malah Ilan Ramon yang dielu-elu para pemberita di Amerika. Ramon terpilih sebagai astronot Columbia tahun 1997. Dalam misi 16 hari yang berujung ledakan itu, di samping tugasnya “cuma” sebagai awak penumpang dia membawa tugas tambahan dari Pusat Studi Antariksa Israel, yakni mengoperasikan sejumlah kamera supercanggih milik Israel.

Katanya sih, untuk merekam partikel-partikel pasir di atmosfir, sebagai bagian dari penelitian Israel terhadap kontaminasi debu gurun di pada atmosfir bumi. Tapi siapa bisa menjamin kebenaran penelitiannya itu? Siapa tahu Israel dan Amerika memang memotret lokasi-lokasi strategis di kawasan Teluk untuk kepentingan perang mereka.

Siapa pula bisa menjamin bahwa pesawat itu memang diledakkan untuk menutup kesaksian dari orang-orang yang sesungguhnya telah mengerjakan pekerjaan lain di luar misi yang sebenarnya? Bukankah segala kemungkinan bisa terjadi untuk menegakkan ambisi sekelompok orang, apalagi kelompok ini sadar betul pada kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya.

Sayang Ramon tak akan pernah bisa ditanyai lagi.***

Bandung, 030203

02
Mar
08

Ramallah 2003

arafat200311.jpg

ADEGAN itu begitu menggetarkan. Orang menyemut di seputar markas Yasser Arafat di Ramallah. Pintu-pintu besi yang berat dan kokoh dan biasa tertutup rapat, tiba-tiba terkuak lebar. Dari balik salah satu pintu itu menyeruak serombongan orang, keluar.

Arafat –dengan kefayeh khasnya membungkus kepala– melambai-lambaikan tangan. Ia duduk bergoyang-goyang di atas kursi yang diusung massa yang dengan emosional memekikkan dukungan.

“Kami akan mendukungmu dengan darah dan jiwa kami, wahai Abu Ammar!!” ratusan orang serempak dan silih berganti memekikkan kata-kata itu. Beberapa di antaranya tampak tak kuasa membendung perasaan.

Sambil menyapukan pandang kepada rakyatnya, Arafat mengangkat tangan. Satu tangan lain meraih mikropon, lalu ia berkata: “Dengan darah dan jiwa kami, kami akan mendukungmu, wahai Palestina,” katanya. Suaranya bergetar ditingkahi gemuruh massa yang riuh rendah memekikkan dukungan.

“Saya ingin katakan kepada pemerintah Israel: Inilah jawaban rakyat kami!” serunya. Lagi-lagi rakyat Palestina menyambutnya dengan gegap gempita. Mereka kembali meneriakkan dukungan, bersedia mengorbankan darah dan nyawa demi Sang Pemimpin, demi Palestina, tanah air tercinta.

Ya, reaksi spontan itu bangkit menyusul keputusan kabinet keamanan Israel yang dipimpin Perdana Menteri Ariel Sharon untuk mengusir Yasser Arafat –presiden sekaligus ruh perjuangan rakyat– dari Palestina, negeri yang dipimpinnya.

Belakangan, pengusiran saja dianggap belum cukup. Mereka bahkan membubuhkan rekomendasi, bahwa Arafat harus dihabisi. Masya Allah! Negeri macam apa Israel itu, sehingga merasa punya hak untuk mengatur hidup mati kepala negara lain?

Begitulah. Mungkin memang hanya Amerika Serikat dan Israel yang merasa boleh dengan semena-mena melakukan apa pun terhadap negara lain, seolah hanya merekalah yang patut mengatur pemerintahan di dunia.

Bayangkan, Irak yang adem ayem di bawah pemerintahan Saddam Hussein, tiba-tiba diserbu, dibumihanguskan. Presidennya diburu seperti seorang kriminal. Keluarganya dihabisi. Pemerintahannya dibekukan kemudian diganti pemerintah bentukan Amerika.

sharon_guardian_pix_martin_rowson.jpgBerikutnya, Israel terang-terangan mengusir –malah mnerekomendasi untuk membunuh– Arafat. Sharon menganggap Arafat menyabot proses perdamaian dan merestui serangan‑serangan yang dilakukan para pejuang Palestina. Padahal semua orang di dunia tahu, justru Israel yang mati-matian memberangus proses perdamaian itu dengan aksi‑aksi agresi yang terus dilakukan. Di bawah kendali Sharon, aksi-aksi tak masuk akal terus dilakukan serdadu Israel atas warga Palestina.

Sejak beberapa lama nama Sharon yang tenggelam. Namanya hampir tiap ha­ri disebut-sebut lagi di media massa seluruh dunia, sejak la­­­wat­annya ke Baitu Aqsha yang ke­mudian mem­bangkitkan kembali intifada, hingga sebagai Perdana Menteri.

Sharon pernah diberhentikan oleh Menachem Begin –ketika itu Per­da­­na Menteri Israel– dari jabatannya selaku Menteri Pertahanan ber­­kaitan dengan tragedi Sabra dan Shatila, kamp pengungsi Pa­les­tina di barat Beirut, Lebanon. Itu pun atas tekanan dunia in­terna­si­onal.

Orang tak akan per­nah lupa pem­bantaian 16 Sep­tember 1982 oleh pasukan milisi Fa­langis dukungan Sharon. Se­dikitnya 300 war­ga Arab, umumnya wa­nita dan anak‑anak, tewas ber­kuah darah di barak pengungsian Sabra dan Shatila.

Sharon mengomandokan penyerbuan besar‑besaran ke Libanon Se­latan tahun 1982 dengan dalih mengusir pejuang Organisasi Pem­be­bas­an Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat. Katanya sih, ins­truksi penyerbuan ini disusun secara rahasia oleh Sharon tanpa kon­­sultasi ke Knesset, parlemen Israel.

Makanya –setelah korban bergelimpangan, dan dunia mengecam– kalangan anggota Knesset me­nentang keras penyerbuan ke Lebanon. Tapi akhirnya mereka toh me­nyetujui pencaplokan atas wilayah Lebanon Selatan.

Sejak Israel memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1948, se­tidaknya tercatat empat peperangan dahsyat antara bangsa Arab dan Yahudi, yakni perang tahun 1948, 1956, 1967, dan tahun 1973. Pe­rang tahun 1967 Israel berhasil mencaplok Semenanjung Sinai dan Ja­­lur Gaza di Mesir; Jerusalem; Tepi Barat Sungai Yordan di Yor­dania; dan Dataran Tinggi Golan di Su­riah.

Pada Perang Oktober 1973 yang bertepatan dengan Yom Kipur, Hari Suci dalam kalender Yahudi, dan Bulan Suci Ra­ma­dan bagi umat Islam, giliran bangsa Arab (Mesir) mengungguli pe­rang besar yang mereka analogikan dengan ‘Perang Badr II’ itu.

Tak kurang dari 2.700 serdadu Israel tewas. Dan, Bar Lev, kawasan Me­sir di semenanjung Sinai yang dicaplok Israel tahun 1967, kem­bali ke pangkuan Mesir. Nah, ‘keunggulan’ Arab dan ‘kekalahan’ Israel pada perang 19­67 ini­lah yang akhirnya memaksa Israel bersedia maju ke meja pe­run­dingan damai.

Namun, itu pun memerlukan proses yang lama dan ber­belit –sekitar 12 tahun– sehingga baru diteken di Camp David (AS), tahun 1979. Meski, kita tahu semua, sesungguhnya Israel tak per­­nah konsisten. Akibatnya, konflik ber­darah te­rus melumuri Palestina, hingga hari-hari ini.

Itu pula yang bikin gregetan pihak mana pun yang selama ini men­­junjung tinggi perdamaian dan penghormatan penuh atas hak asa­si manusia. Di antara bangsa Yahudi sendiri, banyak yang lebih cin­­­ta kerukunan hidup dengan bangsa Arab ketimbang terus-menerus baku serang.

Demikian halnya di kalangan bangsa Arab. Sosok Yas­ser Arafat dan Shimon Perez –pada masanya– dianggap bisa mewakili dua kutub yang bertemu pada titik kepentingan sama itu: perdamaian.

Kini justru sebaliknya, suasana yang sempat berangsur mendingin itu justru seperti kembali jadi bara kebencian yang makin hari kian berkobar menyalakan kekejaman demi kekejaman dengan rakyat Palestina sebagai korban.

Sampai kapan Israel dan Palestina bisa rukun? tak seorang pun tahu. Malah ada yang bilang bahwa dua negara itu memang ditakdirkan untuk selalu berseteru sampai akhir zaman, dan Sang Pemilik Tadir sendiri sudah lupa bahwa ia pernah menyuratkan takdir demikian.

Jadi, pantaslah jika keadaan akan te­rus demikian. Perdamaian tak akan pernah terwujud selama hu­bungan antarumat manusia dilandasi kebencian dan balas dendam, seperti yang terus berkecamuk di Palestina-Israel. ***

Bandung, 160903

Pem­bantaian 16 Sep­tember 1982 oleh pasukan milisi Fa­langis dukungan Sharon. Se­dikitnya 300 war­ga Arab, umumnya wa­nita dan anak‑anak, tewas ber­kuah darah di barak pengungsian Sabra dan Shatila. sabra_shatila_70.jpg




Maret 2008
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31