Posts Tagged ‘gipsy

26
Mar
08

Dangdut, Ja…!!

dangdut_je.jpg

DUA virus menyebar dalam tempo hampir bersamaan sejak awal 2002 sampai memasuki 2003. Jenisnya sama. Musik. Yang satu, dangdut. Satunya lagi latin. Keduanya juga menjalarkan demam yang sama sekaligus membangkitkan perlawanan yang menggunakan bingkai moral dan keyakinan.

Di beberapa tempat, kalangan ulama dan rohaniwan gerah dan menyerukan agar masyarakat lebih arif memilih hiburan. Malah di satu dua tempat ada yang meminta polisi turun tangan untuk membersihkan Inul Daratista yang beredar dalam kepingan-kepingan cakram kompak video.

Di tempat lain, terutama di forum diskusi internet, para mailist, gentayangan seruan untuk mewaspadai Las Ketchup dengan lagu dan dansa Asereje-nya. “Itu pemujaan setan, dan provokasi untuk bersahabat dengan iblis!” demikian antara lain seruan yang menyebar lewat e-mail itu. Dan, polemik pun menjalar.

Seorang teman, aktor teater yang juga penata tari terkekeh-kekeh ketika obrolan kami memasuki dua ‘virus’ yang dipompakan industri musik itu.

“Inul? mengapa harus diperangi? Ia cuma memperagakan gelinjang alami yang secara naluriah muncul sendiri dari diri setiap orang pada situasi tertentu. Mengapa harus ditepis, ditolak, dan disingkirkan. Lha kita sendiri sering sering melakukannya, kok..” katanya enteng.

Iya, sih. Tapi Taufik Kiemas menuai “badai” polemik politik ketika media mempublikasikan gambar-gambarnya sedang memeluk Inul, yang menurut Tjahjo Kumolo –orang dekat Kiemas– itu sekadar foto biasa, ibarat ayah dan anak.

Di Surabaya seorang ibu rumah tangga dilarikan ke rumah sakit gara-gara mencoba bunuh diri. Ia jengkel setengah mati karena suaminya yang kepincut habis goyang Inul. Sang suami tidak lagi pernah menyentuh dirinya. Saban malam, kerjanya cuma duduk di depan pesawat televisi menonton aksi panggung Inul, tentu saja lewat VCD bajakan!

Teman saya itu terbahak. “Kalau itu mah, bukan salah Inul. Inul cuma mengekspresikan perasaannya saat menyanyi. Bahwa gerak-gerik, gesture, yang kemudian muncul itu kemudian membangkitkan birahi penonton, ya salah yang nonton. Birahinya kok encer banget, terangsang hanya oleh tampilan virtual elektronis!”

Lagi pula, teman lain –yang ini pengajar di sekolah tinggi seni tari– menimpali, gerakan yang ditampilkan Inul maupun penyanyi lain, entah itu Alam, atau bahkan Liza Natalia si Ratu Joget, sesungguhnya tak menunjukkan banyak perbedaan.

“Perbedaannya kecil, cuma pada konsep gerak. Mereka tentu sudah punya konsep masing-masing yang disesuaikan dengan berbagai tuntutan. Antara lain pengaruh dari jenis lagu, musik, maupun acara dibawakan,” kata dia.

Inul misalnya, ia cuma mengangkat kembali gerakan-gerakan umum. Hanya saja lebih memberi titik berat penonjolan pada unsur sensualitas dan erotis. “Mungkin ini memang konsep yang sengaja dipilihnya untuk tampil di atas pentas.”

Bahwa konsep itu pula yang kemudian dia gunakan saat pemuatan klip, itu soal lain. Di sini produser lah yang jeli melihat celah pasar. Tapi ia masih kalah jeli oleh para pembajak. Itu sebabnya, Inul menyebar lewat jutaan keping VCD yang murah meriah. Tiap orang bisa memperolehnya dengan mudah di tepi jalan, dan demam goyang bernuansa esek-esek itu tak bisa dibendung lagi.

las_ketchup_1.jpgHal sama terjadi atas trio Las Ketchup. Industri rekaman yang di Indonesia “diperlebar” oleh para pembajak, telah membuatnya mencapai puncak popularitas dalam waktu dekat dan kemudian menjalarkan demam yang sulit ditandingi. Di luar negeri, Asereje langsung melesat ke puncak hits lagu-lagu pilihan. Di Spanyol, bahkan dijadikan lagu maskot tim tim bola basket nasional.

Di tanah air, hanya dalam tempo kurang dari tiga bulanan sejak peluncurannya, Asereje, sudah mulai menggantikan demam Poco-poco yang sempat bercokol dalam diri penggemarnya terutama dalam dua tahun terakhir.

Jika Inul dipersoalkan karena goyangannya yang bisa bikin menggigil ‘lelaki gampang naik’, maka Asereje jadi polemik –konon– karena liriknya yang mengajak orang untuk memuja setan, iblis, dan melupakan tuhan.

“Simak liriknya. Di situ diceritakan seorang lelaki tampan, namanya Diego. Pesonanya menghipnotis siapa saja. Diego –dalam terminologi Gereja Setan– adalah nama panggilan bagi Devil, setan!” tulis seorang mailist.

Dan harus diingat, kata penulis itu, bahwa Lucifer adalah iblis yang rupawan dan ahli musik, termasuk dansa. “Perhatikan lirik awalnya tentang sebuah pesta Jumat Malam. Ini merupakan hari kramat bagi setan. Perhatikan pula kombinasi ras si Diego, yaitu Afro‑Gipsy Rastafarian. Afro atau Afrika terkenal dengan tarian pemujaannya. Gipsy berbicara tentang peramal dan penyihir. Dan Rasta adalah sebuah mode yang lekat dengan pemberontakan dan Narkoba.”

Belum yakin? Ayo simak refrein lagu yang dari segi melodi sebenarnya sederhana, manis, ringan, cair, dan sangat akrab itu:

asereje ja de je de jebe tu de jebere seibiunouva,
majavi an de bugui an de buididipi,
asereje ja de je de jebe tu de jebere seibiunouva,
majavi an de bugui an de buididipi

Dalam bahasa Spanyol, ini nggak ada artinya, tapi bila dilagukan dengan ritme seperti itu, bagi orang Spanyol akan terdengar seperti, “Jadilah sesat, Tuhan itu tidak ada…, (atau bisa berarti; sesat bila mempercayai Tuhan) tinggalkan imanmu saat ini…. mereka akan datang ke bawah, dan mereka akan memandu kita…. ja!”

Memang, kata Kathrine Marshal, dari Institut Paranormal South Hampton, AS, dalam bahasa sebuah suku di bagian barat laut Afrika, asereje mirip dengan dialek mereka dalam sebuah upacara pemanggilan arwah orang yang mati karena kecelakaan. Tapi, apa betul lagu itu merupakan ajakan untuk menyembah sesuatu selain Tuhan, masih belum ada yang bisa menjawab.

Lagi pula, sah-sah saja orang mengajak –dan tidak mengajak– orang lain untuk menyembah –atau tidak menyembah– sesuatu. Bahwa ajakan itu diikuti atau tidak, sepenuhnya tergantrung kepada pihak yang diajak. Jika ia tak punya pendirian dan tak punya keyakinan, tentu saja akn dengan mudah diajak melakukan apa saja, juga melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi umum.

Begitu pula ketika para lelaki melihat goyangan Inul. Ia bisa tergiur dan terangsang, bisa sebal, bisa merasa lucu, bisa pula tidak merasakan sensasi apa-apa, tergantung kendali emosi dan rasa masing-masing. Jadi mengapa harus ribut?

Padahal, siapa tahu heboh yang meledak-ledak itu sebenarnya sengaja diciptakan oleh para produser untuk memunculkan kontroversi. Dengan begitu, poduknya jadi bahan pembicaraan banyak orang. Makin banyak dibahas, kian banyak yang penasaran, semakin besar peluang pasar yang tercipta. Ja! ***

Bandung, 07-13/02/03




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031