Arsip untuk Maret 1st, 2008

01
Mar
08

Salma dari Haifa

salma_haifa.jpg

NABIL mungkin benar ketika mengatakan tak ada satu pun yang dapat menghalangi Arafat untuk maju kembali ke arena pe­milihan presiden. Arafat adalah Palestina, dan Palestina adalah Arafat.

“Ia memiliki semua syarat yang diperlukan untuk men­ca­lonkan diri sebagai presiden Palestina,” kata Nabil Shaath salah seorang ang­gota kabinet Palestina itu. Ya, Arafat adalah sosok yang tak bisa dipisahkan dari Pales­tina.

Darah dan dagingnya adalah darah-daging seorang anak bangsa yang mencurahkan seluruh hidupnya demi tegaknya kedaulatan sebuah bangsa, demi harapan dan masa depan mereka, yang –dari waktu ke wak­­­tu– terus dikoyak dan dicabik-cabik kerakusan dan kebiadaban bangsa lain, Yahudi.

Insiden Jumat (28/6/2002) menunjukkan, betapa Israel tak la­gi mengindahkan kedaulatan bangsa Palestina.

Bahkan markas besar Ara­fat –semacam istana kepresidenan– di di Al‑­Khalil alias Heb­ron, diluluhlantakkannya dengan bahan peledak dan belasan bul­do­ser lapis baja seperti meruntuhkan gedung tua untuk kepen­tingan pemugaran.

Sharon boleh saja membayangkan bahwa iman perjuangan para syu­hada Palestina akan pupus dengan cara-cara macam itu. Tapi, siapa bisa membendung bara cinta anak-anak sebuah bangsa atas tanah airnya? Mereka boleh terusir, tapi mereka akan kembali. Mereka bisa ditindas dan diberangus, tapi mereka akan bangkit dalam sebuah perlawanan tanpa rasa takut.

“Ya, kami akan kembali,” kata Abu Salma, lewat sajak yang ditulisnya tahun 1951, atau tiga tahun setelah ia terusir dari tanah tumpah darahnya saat Israel dengan bengis mencaplok juga Ha­ifa, tanah kelahirannya.

Salma tersingkir ke Akka, lalu ber­mukim di Damaskus sampai akhir hayatnya. Penyair yang di lingkungan komunitas sastra Timur Tengah di­kenal sebagai Salma dari Haifa itu wafat tahun 1980 dalam usia 73. Malah, mungkin tanpa sempat menginjakkan lagi kakinya tanah le­luhur di mana ia dilahirkan.

Padahal ketika memulai perjalan­an­nya, ia membawa kunci rumah dan kunci kantornya di Haifa dengan suatu keya­kinan bahwa suatu saat akan kembali.

Ya, Salma mungkin tak pernah bisa kembali ke Haifa, namun anak-anak bangsa Palestina, sebagaimana Arafat, akan muncul be­gi­tu yang lain binasa. Patah tumbuh hilang berganti. Sudah berapa ribu putra-putri mereka gugur, tapi perlawanan terhadap kelaliman Israel tak pernah kunjung surut.

Medan perjuangannya pun tak pernah kehilangan bentuk. Ketika in­ti­fada sudah tak lagi efektif melawan tank-tank dan meriam ser­ta senjata otomatis dan mesin-mesin pembunuh lain, anak-anak muda itu membulatkan tekad, menyatukan diri dengan bom dan mele­dak­kan se­buah perlawanan betul-betul sampai titik darah penghabisan.

Ma­­kin keras tekanan Yahudi, kian deras pula ak­si-aksi mati sahid itu. Perjuangan, juga bisa dilakukukan dengan cara seperti yang ditempuh Salma dari Haifa yang ketika lahir bernama asli Abdul Ka­rim Al‑Karmi itu. Ia berjuang dengan suara hati. Ya, itulah yang dipekikkan Salma ke seantero negeri. Dan, suara hati itu di­sampaikannya dalam bentuk larik-larik puisi.

O, kekasihku, Palestina.
Kami kan kembali
Akan kami kecupi ruap bau tanah
dengan rona merah
yang mengaliri bibir-bibir kami.
Ya, be­sok kami kan kembali,
dan anak cucu akan mendengar
de­rap langkah kami….

kata Salma lewat salah satu bait sajak yang ditulisnya pada 1951. Dan, 27 tahun kemudian Salma mendapat peng­hargaan inter­nasional, Anugerah Sastra dari Aso­siasi Sastra­wan Asia dan Af­rika. Sementara itu, dari waktu ke waktu dan de­ngan berbagai cara, Israel berusaha menindas Palestina. Tapi bersamaan dengan itu pula perlawanan demi perlawanan terus berlanjut. Ya, bangsa Palestina akan kembali, kata Salma ber­ulang-ulang.

Kami akan kembali bersama badai
bersama guntur dan hujan meteor
bersama harapan dan nyanyian
bersama kepak sayap rajawali
bersama fajar yang tersenyum menyapa gurun
bersama pagi di atas gelombang laut
: dengan panji-panji berdarah
dengan pedang-pedang megkilap
dan dengan tombak-tombak runcing menoreh langit!

Betapa, di balik kelembutan, keindahan, dan keteduhuan yang me­nyosok pada ung­kapan-ungkapannya itu menyeruak gairah un­tuk me­lawan. Gairah yang begitu keras dan tajam tak kenal ampun demi ter­­capainya sebuah harapan.

Semangat yang menggelora pada sa­jak-sajak Salma tampaknya tak kalah garang dengan ‘gairah’ intifada yang men­jalari sosok-sosok ring­kih pemuda-pemuda belia berwajah polos, put­ra-putri sang kekasih, Palestina.

Simak saja, selang sehari setelah ser­dadu Isra­el membumi­hanguskan markas Arafat, sebuah bom meledak di se­pan­jang rel kereta di Tel Aviv (Minggu, 30/6/2002), nyaris melumat satu gerbong berisi 500 penumpang.

Sebelumnya, awal Juni, dua kali aksi bom bunuh diri telah mene­­waskan 26 orang Yahudi. Aksi serupa, terjadi di ber­bagai tem­pat. Dalan kurun dua ta­hun terakhir saja, tercatat lebih dari 70 kali aksi bom bunuh di­ri di wilayah Israel yang dilakukan pejuang‑pe­ju­ang Palestina. Lebih dari 240 warga Yahudi binasa.

“Aksi bom bunuh diri itu merupakan bagian dari perjuangan su­­ci rakyat Palestina untuk merebut kembali hak‑hak mereka yang secara semena‑mena dirampas kaum Zionis Yahudi,” ujar Paus She­nuda III, Pemimpin kharismatik Gereja Koptik Mesir.

Israel –tentu saja dibantu sekutu paling karibnya, Amerika– mati-matian melakukan berbagai upaya membendung aksi-aksi jihad itu. Termasuk, membumihanguskan “istana” Arafat.

Israel boleh saja ngotot bahwa tindakan keras yang mereka la­­­kukan adalah untuk meng­hen­tikan aksi-aksi itu. Ia boleh mati-ma­tian memekik-mekik bahwa Palestina lah biang keladinya.

Seba­lik­nya, dunia pun tahu persis bahwa para syuhada Palestina ber­gerak jus­tru karena hak-hak bangsa mereka dirampas. Siapa pun ta­hu be­laka bahwa Israel memburuk-burukkan Palestina di mata dunia se­mata untuk menutupi keborokan perilakunya sendiri.

Namun perilaku Yahudi seperti itu memang tak cuma kepunyaan Israel di bawah kepemimpinan Sharon. Di lingkungan kita sendiri, masih se­ring kita temukan orang-orang macam itu. Se­lalu akan kita jumpai orang yang memburukkan orang lain demi menutupi bo­rok dirinya di mata umum.

Boleh saja ia bersuka cita sementara. Tapi tunggulah. Se­per­ti kata Salma dari Haifa:

Kami akan kembali bersama badai,
ber­sama guntur,
bersama tombak-tombak
runcing menoreh langit…

Lihat saja. ***

* Bandung – 300602

01
Mar
08

Atas Nama Kerukunan

MUHAMMAD lahir pada Hari Natal di Betlehem. Tak usah protes. Ini fakta human interest yang disiarkan kantor berita Perancis (AFP) untuk memberi ilustrasi perayaan Natal terakhir abad 2000.

rukun.jpgBayi laki-laki itu tak ada istimewanya dibanding ratusan mung­kin ribuan bayi yang dilahirkan pda hari yang sama, Sabtu (25/­12/1999) lalu di seluruh dunia. Ia diangap menarik karena dila­hirkan di Betle­hem, tempat Isa Almasih dilahirkan dua puluh tahun silam.

Sang ibu, Khitam Abdul Hafeiz (24) adalah muslim Palestina yang menghuni barak pengungsian di Aidah, Tepi Barat. Suaminya, Ju­ma’a Abdul Hafeiz (37), dan beberapa anggota keluarga menggotong Khi­tam ke Rumah Sakit Keluarga Suci di Betlehem, tepat di malam Natal ketika Khitam mulai merasakan jabang bayi ‘berontak’ ingin ke­luar.

“Saya namai dia Muhammad. Saya sangat bahagia melahirkan bayi ini tepat pada Hari Na­tal, sebab sama dengan saat lahirnya Nabi Isa, Nabi bagi perda­maian dan cinta kasih segenap umat manusia,” ujar ibu muda itu yang dida­ulat untuk berfoto bersama, menyemarakkan perayaan Natal umat Krisitani di Betlehem.

Itu saja. Tak ada yang istimewa. Sama dengan tidak istimewa nama seorang Marcelinus Ali, yang kakeknya –lalu dijadikan nama marga– bernama Ali, seorang muslim. Atau Irman Husein, yang –karena namanya– sering dikirimi kartu lebaran oleh klien dan relasinya, padahal ia seorang nasrani meski kakek-buyutnya dahulu beragama Islam.

Saya pun pernah ternganga –kagum– oleh ‘toleransi’ dan upaya merajut kerukunan saudara-saudara saya ketika tahun 1995-1996 lalau saya bermukim di daerah yang jelas-jelas mayoritas warganya pemeluk Nasrani.

Pada suatu undangan jamuan pengantin, saya mendadak ‘digiring’ men­jauh dari arena pesta saat waktu bersantap tiba, lalu saya di­antar ke sebuah rumah –100 meter dari tempat pesta.

Di sini telah ter­hidang santapan khusus yang menurut mereka tak tercemar oleh ba­rang haram bagi orang Muslim. Beberapa tamu la­in –terutama pejabat dari Jawa (maaf, mereka mengidentikkan Jawa de­ngan Islam, padahal nggak selalu, kan?)– juga sudah ada di sini, dijamu khu­sus oleh keluarga Muslim yang sengaja diundang oleh sohi­bul bait untuk melayani tetamu Muslim.

Di daerah ini warga setempat selalu begitu setiap menggelar pesta. Tak perdului apakah di antara undangan itu ada yang Muslim atau tidak. Intinya, berjaga-jaga, jika ternyata ada, sudah siaga. Jika pun tidak, tak ada ruginya sebab makanan halal bagi orang Muslim tidaklah haram bagi mereka, alias bisa disantap juga nantinya.

“Di antara kakek dan nenek saya, juga paman dan pakde saya, ada yang Muslim. Di kampung kami apalagi. Kami rukun bahu membahu, termasuk saat membangun atau memperbaiki gereja dan mesjid,” kata rekan saya dari Ende, Flores.

Bahkan di daerahnya, di setiap kampung pasti ada orang Muslim yang mereka percayai untuk me­mimpin –setidaknya menjadi penasihat– acara-acara tertentu yang melibatkan segenap warga. Bahkan acara pentahbisan seorang Uskup pun melibatkan seorang ulama setempat dalam panitia inti.

Tapi, suatu kali, menjelang perayaan Natal, seorang wartawan dari surat kabar terkemuka yang sedang ‘mudik’ dan nyekar ke makam ke­luarganya, pernah panik tak kepalang.

Di gerbang pemakaman itu ia disambut para preman berparang yang minta imbalan dengan dalih su­dah membersihkan makam, padahal ia tahu persis tak selembar pun rum­­­put liar terpapas di sana. Inti­nya, suasana Natal dimanfatkan untuk memeras orang-orang yang mera­yakannya dan hasil perasan itu digu­na­kan untuk pesta mabuk di malam Natal.

Saya mengulasnya di sini ti­dak dilandasi niat untuk mengis­ti­mewakan peristiwa-peristiwa itu, termasuk kelahiran Muhammad bin Ju­ma’a pada Hari Natal 1999. Saat menangani persalinan, pihak rumah sakit milik Yayasan Nasrani di Betlehem ini pun tak melihat istri Juma’a beragama apa. Mereka cuma melihat ada wanita dari barak peng­­ungsian warga Palestina yang mendesak harus ditolong agar bayi­nya lahir dengan selamat.

Jelas, tidak istimewa, karena setiap kela­hiran umat manusia ada­­lah buah keistimewaan Sang Maha Istimewa, Sang Maha Pemilik Segenap Kehidupan sekaligus Sang Maha Penguasa Segala Kematian.

Lho, mengapa kematian? Sebab, bersamaan dengan perayaan Natal (da­ri kata Yunani, natus — lahir) kita juga menyaksikan tragedi ke­­­­­matian di Ambon, juga di Aceh. Juga di tempat lain. Jika Ambon ter­cabik oleh perseteruan antara kelompok Mus­lim dan Kristen, maka Aceh dikoyak perseteruan politik yang mencecerkan penindasan hak asasi manusia — bahkan juga antara mereka yang seagama.

Persoalannya kini, mengapa orang begitu garang dan galak –me­minjam istilah Gus Dur– sehingga demikian gampang menyerang, mem­bunuh dan –kalau perlu– memusnahkan orang atau kelompok masya­ra­kat lain sam­bil berlindung di balik topeng keyakinan?

Masing-masing pihak bisa melontarkan argumen sampai berbuih-buih untuk membe­nar­kan tindakannya, tapi rasanya tak ada satu agama pun yang mem­be­nar­kan penganiayaan dan pembunuhan terhadap penganut agama lain.

Orang yang meyakini kebenaran agamanya, tentu tidak akan mera­sa terhalang untuk bersaudara dengan orang yang beragama lain, se­bab hubungan antaramanusia justru akan terasa lebih indah ma­nakala di sana tercermin adanya kebedaan.

Artinya, kebedaan –yang menjadi fitrah umat bumi– itulah yang membuat manusia harus saling ber­hubungan untuk menemukan per­sa­­maan. Dan, dengan cara ini kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu setiap orang.

Kerukunan. Itu, inti persoalan yang mengemuka belakangan ini. Sa­ya heran, megapa orang sesuku dan seagama –apalagi beda suku dan beda agama– bisa baku bunuh. Padahal, sudah berabad‑abad kita hi­dup dalam suasana yang tenang dan bersama‑sama menciptakan keru­kunan yang jadi sesuatu yang khas dalam kehidupan bangsa.

Kini, mari tengok ke Jawa Timur. Pernah suatu ketika beberapa orang dengan beringasnya membantai orang-orang yang mereka anggap sebagi juru santet. Drama ini seolah mengulang insiden beberapa waktu lalu, ketika sejumlah guru ngaji juga dihabisi dengan tudingan yang sama.

Pada kesempatan lain, kita menyaksikan bagaimana para pe­muda Ansor yang tergabung dalam Banser (Barisan Serba Guna — NU) men­jaga dan turut mengamankan sejumlah gereja pada suatu perayaan Natal. Tapi tengok pula kompleks Yayasan Doulos di Cipayung, Jakarta yang pernah dio­brak-abrik dengan alasan jadi pusat pemurtadan (bagi warga muslim sekitar).

Kita juga menyaksikan, para pemuda PMKRI (Perhimpunan Mahasis­wa Katolik Republik Indonesia) menjaga mesjid-mesjid ketika kota Ku­pang terbakar kerusuhan beberapa waktu lalu. Tapi simaklah Ambon yang pernah terbelah jadi dua kabilah –Muslim dan Nasrani– yang saling serang dan baku bunuh, tanpa ada satu pun pihak yang berhasil meredamnya sampai padam betul.

Kerukunan yang telah lama terjalin, dan di beberapa tempat su­dah begitu sublim dalam kehidupan warga, mulai dirusak. Padahal, ba­­rang siapa membuat kerusakan dan mengganggu ketentraman orang la­in, sesungguhnya dia telah mengkhianati ajaran agama yang demikian mu­lia dan begitu menaruh tinggi-tinggi martabat serta kehormatan ma­nusiawi setiap manusia.

Kerukunan. Rupanya, inilah yang jadi pekerjaan rumah kita bersama. Saya langsung teringat undangan dari pengurus kampung ketika saya tinggal di Banjarmasin. Isinya, membahas Rukun Kematian. Mak­sud­nya, tentu saja bukan untuk bikin rukun orang-orang yang sudah mati. Tapi dengan kerukunan bersama mengupayakan car mengatasi masalah jika ada warga yang tertimpa musibah, kematian.

Bagi saya, ini penting sekali. Sebab kematian adalah satu di an­­­tara tiga titik babakan manusia di alam dunia. Titik pertama adalah natus alias natal atawa lahir, yang merupakan awal kehidupan manusiawi di titik kedua, yakni hidup di alam dzahir. Titik ketiga adalah mati sebagai akhir hidup.

Lihat, di sana ada lahir, ada akhir. Di antara lahir dan akhir ada kehidupan. Kematian alias akhir hidup, adalah awal dari kehi­dupan tanpa akhir. Persoalannya, apa sih yang sudah kita lakukan da­lam hidup itu yang sunguh-sungguh bisa jadi bekal kita pada ke­hidupan yang tanpa akhir (kekal) itu nanti jika kehidupan tak kekal cuma diisi dengan ketakrukunan? ***

Bandung, 16012000 

01
Mar
08

Gito Pergi, Ingat Harry

gito-rollies-pergi1.jpg

Setelah 3 Tahun Melawan

KAMIS (28/02/2008) malam datang berita, Bangun Soegito alias Gito Rollies sudah pergi. Perjuangannya melawan kanker getah bening sejak tiga tahun lalu, sudah berakhir. Inna lillahi wainna ilaihi rojiun. Segala yang berasal dari-NYA, semua kembali kepada-NYA.

Satu lagi, tokoh yang jadi ikon perkembangan musik di tanah air pergi. Sebelumnya Harry Roesli –musisi eksentik—pergi setelah bergelut dengan penyakitnya. Gito, dengan teman-temannya Uce F Tekol, Deddy Stanzah, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa, dan Teungku Zulian Iskandar menggebrak panggung musik dengan The Rollies-nya.

Kiprah musik anak-anak Bandung di tahun 70- an itu tambah marak majalah Aktuil (Remy Sylado) yang khurus mengulas perkembangan musik dan “memprovokasi” kawula muda untuk melahirkan gerkan-gerakan baru di bidang musik.

Selain Rollies, saat-saat itu ada Rhapsodia (Soleh), Paramour (Djadjat Kusumahdinata – alm), dan Giant Step (Benny Soebardja) yang tak kalah garang jika tampil di panggung. Pada jalur lain, ada Bimbo yang bahkan tetap eksis hingga hari-hari ini.

Selain kelompok-kelompok itu, tentu ada tokoh-tokoh yang bergerak dengan jalurnya sendiri, seperti Harry Roesli sang legenda perkusi, kemudian ada nama-nama lain seperti Yan Hartland, Harry Sabar, Nicko-Nicke, Nikki Ukkur dan lain-lain yang marak pada peridode berikutnya.

Kepergian Gito, mengingatkan saya pada perginya Kang Harry (sapaan akrab Harry Roesli) 11 Desember 2004 yang saya tulis untuk Curah, BëBAS edisi minggu kedua Desember tahun yang sama:

Harry, Hakekat Bunyi

HARRY Roesli, adalah profesor musik yang lebih dikenal sebagai musisi bengal. Sebagian orang memandangnya sebagai pemusik paling ganjil. Ada lagi yang memujanya karena cucu pujangga besar Marah Roesli ini adalah pakar perkusi.

harryroesli.jpg

Ada yang menyebut Harry sebagai seniman komplet. Ada yang menjulukinya filsuf musik yang memperkenalkan hakekat bunyi. Bagi Harry, segala sesuatu yang (bisa) berbunyi dan dibunyikan pada dasarnya adalah musik.

Maka suara orang menyikat gigi, bunyi krupuk dikunyah, deru sepeda motor, jangkrik, gemerisik kertas, tetesan air, pompa, siulan angin, bahkan batuk, bisa disusun sebagai komposisi dan ditampilkan dalam orkestrasi yang spektakuler. Menggedor, menyentak, kadang meneror, tapi sekaligus menghibur.

Baginya, detak jantung pun adalah musik. Irama kehidupan. Tinggal kemudian, bagaimana kita memaknai dan membuatnya jadi bernilaiguna bagi orang banyak.

Bertahun lalu –teriinspirasi pengalamannya dirawat di ru­mah sakit akibat stroke— ia menyodorkan sebuah kom­posisi yang lebih tepat disebut musik jan­tung. Se­buah eksperimen yang luar bi­asa mencengangkan.

Ia menunjukkan betapa spektakuler sesungguhnya peran organ lembek-lem­bek kenyal yang tersembunyi di balik tulang iga itu. Betapa berartinya degup lembut ini bagi mahluk hidup. Sejumlah mikropon kecil yang amat sensitif di ditempelkan di bagi­an-bagian tubuhnya. Ia hubungkan ‘katoda-katoda mik­ropon’ ini dengan pe­rangkat penguat suara lalu disalurkannya ke unit-unit pengeras suara di sekeliling panggung.

Para musisi menghadapi partitur komposisi yang memandu mereka me­na­ngani alat masing-masing dan memainkannya dalam konser dengan suara jantung sebagai salah satu unsur.

Maka, jantung tidak lagi cuma degup lembut melainkan dentaman timfani yang menggelegar, menyentak, dan menggedor tidak saja mekanisme alat pendengaran, tetapi nyaris menggetarkan se­luruh jaringan tubuh. Mencekam sekaligus mencengangkan, juga menyentak dan meneror pikiran.

Orang yang menyimaknya tiba-tiba merasa sedang berada di dalam –dan jadi bagian– tubuh itu sendiri se­hingga dengan jelas mendengar gelegar irama jantung, ge­merisik darah mengaliri nadi, gemuruh udara keluar ma­suk paru-paru, dan decit licin organ-organ lembek berlemak yang saling bersinggungan menggelenyarkan ke­­hi­dupan.

Ya. Kehidupan. Dan, degup lembut jantung jadi tan­da­nya. Ber­degup berarti hidup. Berhenti, sama dengan mati. Namun karena lem­butnya, sering­kali degup itu tak disadari. Apalagi jantungnya.

Padahal kalau sa­ja kita selalu saksama meresapi de­gup lembut itu, mungkin kita tak akan membi­ar­kan hidup meng­alir sia-sia dengan berbagai perbuatan yang hanya mem­perce­pat­nya ber­henti.

Harry Roesli sangat menyadari komplikasi dan tingkat keparahan penyakit seperti yang dideritanya, namun ia menunjukkan semua itu bukan hambatan untuk terus berkarya agar hidup tetap bermakna. Tidak semata bagi diri sendiri, tapi bagi semua orang.

Karena itu, Harry tak hanya bermusik. Bagi orang yang mengaguminya sebagai kolomnis, Harry adalah penulis yang ungkapan-ungkapannya kadang sukar diduga dan melejit dari kelaziman namun menohok langsung ke sasaran sambil tetap jenaka sehingga kritik-kritiknya sukar ditepis.

“Persis seprti komposisi musiknya. Tulisannya aneh, ganjil, lucu, tapi menukik tajam dan menabrakkan kita pada realitas yang kadang menyakitkan tanpa kita merasa sakit,” kata seorang budayawan di Bandung.

Musik adalah aliran darah dan denyut nadi serta jantungnya. Menulis adalah ekspresinya yang lain sebagaimana demonstrasi, sementara mengasuh dan melayani serta menyenangkan orang lain, adalah sisi sosialnya yang sangat sulit dilupakan banyak orang.

Ketika warga kota Bandung dipusingkan para pengamen di simpang-simpang jalan, Harry justru meraih mereka, memberinya tempat berteduh, berlindung, dan belajar. Baginya, para pengamen dan para demonstran adalah sama, kelompok muda yang harus didampingi –bukan dihadapi dengan tangan besi.

Hingga kini sekitar 30.000 pengamen –baca tiga puluh ribu pengamen– yang bertebaran di berbagai kota di Jawa Barat tetap menganggap Harry sebagai bapak asuh. Bayangkan, bagaimana hari-hari itu ‘mengasuh’ anak jalanan sebanyak ini.

Boleh jadi karena ‘keganjilannya’ itu posisi uniknya di dalam dunia seni –terutama musik– Indonesia seakan tanpa padanan. Bagi Harry, musik dalam kerangka pengertian wacana estetika dengan segala trik‑trik formalitas bangunan artistiknya (bentuk komposisi, strukturisasi, harmonisasi dan sebagainya) bukanlah tujuan utama.

Dia bilang, musik hanyalah alat untuk menyampaikan seluruh pikiran dan pesan yang akan saya sampaikan. Musik –dengan demikian– hanyalah sebagian elemen saja dari seluruh karya yang bersifat tontonan. Tontonan itu harus mengandung makna lebih dari sekedar “hanya” musik.

Mungkin betul, Dieter Mack –dalam salah satu risalahnya tentang musik di Indonesia– menyamakan Harry Roesli dengan Frank Zappa. Di mata guru besar musik dari Jerman ini, Harry dan Zappa sama-sama banyak menggunakan bahasa musik “mixed media” (medium campuran).

Kritik sosial, sindiran politik, keprihatinan situasi, pesan‑pesan moral, pemutarbalikan logika, pelecehan takhayulisasi tata nilai, ukuran‑ukuran norma, guyonan ke(tidak)adilan, negasi, gugatan, cacian, humor, dan apa pun yang ingin disampaikannya akan ia luncurkan melalui ‘jalan tol’. Langsung, tanpa hambatan.

Harry telah pergi. Dan, Indonesia kehilangan (lagi) salah satu putra terbaiknya. Tokoh bernama asli Djauhar Zaharsjah Fachrudin Roesli yang lahir 10 September 1951 ini meninggal 11 Desember 2004 karena gagal jantung disertai gagal paru-paru dan ginjal.

Saat-saat sebelum ia tak sadarkan diri di tengah parawatan di RS Harapan Kita Jakarta, ia masih ‘berulah’. Dengan ujung telunjuknya yang sudah membengkak, ia menuliskan kata “Bosan” pada alat pacu jantung yang membantu mempompa agar darahnya terus mengalirkan kehidupan.

Entah itu berarti ia sudah menyerah –pasrah, tidak mampu memberontak lagi pada kehidupan– atau memang betul-betul bosan karena sekian lama tak bisa bergerak. Tubunya terbaring dengan saling-silang kabel dan selang penopang kehidupan.

“Ini kan Desember, kabel‑kabel ini kayak pohon natal saja,” ujarnya lagi melirik juntaian kabel dengan latar belakang kerlipan lampu-lampu digital perangkat elektronik penunjang rawat.

“Kalau Munir mati diracun, maka saya meracuni diri sendiri dengan makanan dan rokok,” ujarnya hanya beberapa saat sebelum ia menyerah pada sang maut. Pada saat-saat seperti itu pun, ia masih meluncurkan kritiknya, tidak saja pada dunia luar. Tapi juga pada diri sendiri, dengan tujuan mengingatkan orang lain.

Itulah Harry Roesli. ***

Bandung, 141204




Maret 2008
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31