Posts Tagged ‘partai politik

26
Mar
08

Sang Raja

rhoma_irama.jpg

‘DUEL‘ belum selesai. Raden Haji (RH) Oma Irama mengadukan sebuah tabloid ke polisi. Tuduhannya, mencemarkan nama baik, menyebar fitnah, melakukan perbuatan tidak menyenangkan.

Gara-garanya, tabloid itu memberitakan bahwa Oma kepergok sekamar berdua dengan Angel, semalam suntuk sampai menjelang subuh. Angel adalah lawan mainnya dalam film yang sedang ia garap, Ibnu Sabil.

Baik Oma maupun Angel tentu saja menolak berita yang menurut mereka insinuatif itu. Oma bilang, ia datang ke apartemen –bukan kamar– tempat tinggal Angel untuk mengambil naskah skenario yang tertinggal di sana. Angel bertutur ia belajar mengaji.

Apa yang mereka lakukan sesungguhnya? Hanya mereka yang tahu. Orang tak perlu usil mengusik dan mengintip-intip apa yang mereka perbincangkan –kalau pun memang sekadar berbincang. Orang juga tak perlu nyinyir menyoal bahwa pasangan bukan muhrim itu berada di ruang yang sama untuk kurun yang begitu panjang, malam sampai subuh.

180px-angel_lelga.jpgKetika ada kabar Oma sedang berduaan di tempat tinggal Angel, kontan saja pers memburunya. Dan, kabar itu pun meledak, menjalar-jalar di setiap tayangan infotainment televisi swasta, dan jadi sajian utama media-media cetak yang haus sensasi.

Ternyata cerita ke arah ‘pengungkapan’ skandal Apartemen Semanggi itu juga berlika-liku, persis mirip opera sabun colek produksi rumah produksi lokal. Konon, kehadiran wartawan di apartemen itu atas info Pangky Suwito, yang juga tinggal di apartemen yang sama.

Pangky adalah suami Yatie Octavia, aktris sensual pada masanya (tahun 1970-an) dan pernah jadi lawan main dalam film produksi PT Rhoma Film, yang disutradarai sekaligus diperanutamai Oma sendiri. Konon pula, Oma pernah naksir Yatie, sebagaimana ia menaksir –dan kemudian memperistri- Ricca Rachim, juga pasangan mainnya dalam film.

Begitulah, Oma pun perang mulut dengan Pangky-Yatie, kemudian ‘duel’ tuntutan dengan tabloid tadi. Disebut duel, ya karena memang ini perseteruan langsung antara dua pihak. Berhadap-hadapan. Oma di satu kubu, dan pihak lain di kubu seberang.

Di mata Oma, apa yang menimpanya hari-hari itu, adalah sebuah upaya sistematis untuk memojokkan dia yang sedang gencar memerangi apa yang disebutnya sebagai melawan pornografi dan pornoaksi. Sebuah gerakan moral di tengah arus permisifisme yang kian menggejolak.

Apa pun namanya, tahap-tahap peristiwa yang kemudian diliput luas media massa itu telah membuat Oma kembali jadi pembicaraan banyak orang. Selama pekan-pekan kemarin para penggemarnya bisa memuaskan kerinduan mereka pada Satria Bergitar ini karena hampir saban hari Oma terlihat di layar televisi.

Di luar itu semua, Oma tetaplah Oma. Keberadaannya di tengah realitas kekinian, sebagai tokoh publik –dan karena itu segala tindak-tanduknya jadi perhatian– pun berangkat dari fenomena yang berkembang, diperkembangkan, dan memperkembangkan dirinya, bersamaan dengan kiprahnya di dunia musik.

Keberadaannya di pentas musik nasional yang hingga kini tampaknya belum tergantikan siapa pun itu, juga dilaluinya dengan duel sungguhan yang menandai sejarah musik negeri ini.

Dangdut. Ya, dangdut –bermula dari istilah sinis dan mengejek untuk irama musik Melayu yang menggelitik– kini bisa dibilang merajai musik di berbagai lapisan masyarakat di tanah air. Dulu, “Dangdut itu musik tahi kucing!” pekik seorang rocker saat itu (pertengahan 1970-an).

Kalau tak salah, yang menghujat musik Oma itu adalah pentolan Giant Step, grup rock ternama dari Bandung. Boleh jadi, Giant Step pun rocker sejati made-in republik. Sebab grup inilah yang pertama kali berani manggung dengan lagu-lagu rock gubahan sendiri ketika publik musik rock didemami Deep Purple, Led Zeppelin dan Rolling Stone.

Polemik yang disulut ‘tahi kucing!’ itu akhirnya berpuncak pada dialog yang memperhadapkan Benny Soebardja, pentolan Giant Step dengan Oma Irama, komandan Soneta.

Dan, polemik itu berpuncak di Senayan dalam sebuah duel sungguhan antara dua kelompok musik. Saat itu tahun 1979. Inilah sesengguhnya duel maut pertama dalam pentas musik kita, dan hingga kini mungkin belum tertandingi.

Itu terjadi di Istana Olahraga (Istora) –kini Gelora Bung Karno– 24 tahun silam. Berdiri di satu sisi adalah God Bless, dengan Achmad Albar sebagai komandan. Di kubu berlawanan, tegaklah Oma Irama memimpin pasukan Orkes Melayu-nya, Soneta.

Seingat saya, ini duel paling spektakuler di ujung dekade itu, sekaligus sebagai puncak perseteruan panas dan tajam lewat polemik yang meluas di antara para seniman. Di situ pula revolusi musik dangdut di tanah air mencapai titik ledak, dan virusnya menjalar serta mendemami hampir setiap orang hingga saat ini.

Kini, rasa-rasanya tak satu pun orang Indonesia tak kenal dangdut. “Sejak rapat‑rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Oma Irama,” tulis William H Frederick, doktor sosiologi Universitas Ohio, AS, yang pada 1980-an meneliti Oma dan fenomenanya.

“Kemampuannya” mengundang massa itu pula yang kemudian membuat Oma jadi rebutan partai politik, sampai kemudian ia jadi anggota parlemen. Ia juga loncat dari PPP ke Golkar dan balik lagi ke PPP, ketika angin perubahan mulai terasa.

Kini, ia lebih sering tampil sebagai juru dakwah. Jemarinya hampir tak pernah lepas menggenggam tasbih. Kata-katanya pun selalu sarat dengan idiom, istilah, dan pesan-pesan agama. Boleh jadi, ini pula yang membuat orang-orang jadi penasaran, sehingga apa pun gerak-geriknya selalu diperhatikan dan diincar.

Orang bilang, makin tinggi pohon tumbuh, kian kencang angin menerpa. Begitulah. ***

Bandung, 260503




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031