MUHAMMAD lahir pada Hari Natal di Betlehem. Tak usah protes. Ini fakta human interest yang disiarkan kantor berita Perancis (AFP) untuk memberi ilustrasi perayaan Natal terakhir abad 2000.
Bayi laki-laki itu tak ada istimewanya dibanding ratusan mungkin ribuan bayi yang dilahirkan pda hari yang sama, Sabtu (25/12/1999) lalu di seluruh dunia. Ia diangap menarik karena dilahirkan di Betlehem, tempat Isa Almasih dilahirkan dua puluh tahun silam.
Sang ibu, Khitam Abdul Hafeiz (24) adalah muslim Palestina yang menghuni barak pengungsian di Aidah, Tepi Barat. Suaminya, Juma’a Abdul Hafeiz (37), dan beberapa anggota keluarga menggotong Khitam ke Rumah Sakit Keluarga Suci di Betlehem, tepat di malam Natal ketika Khitam mulai merasakan jabang bayi ‘berontak’ ingin keluar.
“Saya namai dia Muhammad. Saya sangat bahagia melahirkan bayi ini tepat pada Hari Natal, sebab sama dengan saat lahirnya Nabi Isa, Nabi bagi perdamaian dan cinta kasih segenap umat manusia,” ujar ibu muda itu yang didaulat untuk berfoto bersama, menyemarakkan perayaan Natal umat Krisitani di Betlehem.
Itu saja. Tak ada yang istimewa. Sama dengan tidak istimewa nama seorang Marcelinus Ali, yang kakeknya –lalu dijadikan nama marga– bernama Ali, seorang muslim. Atau Irman Husein, yang –karena namanya– sering dikirimi kartu lebaran oleh klien dan relasinya, padahal ia seorang nasrani meski kakek-buyutnya dahulu beragama Islam.
Saya pun pernah ternganga –kagum– oleh ‘toleransi’ dan upaya merajut kerukunan saudara-saudara saya ketika tahun 1995-1996 lalau saya bermukim di daerah yang jelas-jelas mayoritas warganya pemeluk Nasrani.
Pada suatu undangan jamuan pengantin, saya mendadak ‘digiring’ menjauh dari arena pesta saat waktu bersantap tiba, lalu saya diantar ke sebuah rumah –100 meter dari tempat pesta.
Di sini telah terhidang santapan khusus yang menurut mereka tak tercemar oleh barang haram bagi orang Muslim. Beberapa tamu lain –terutama pejabat dari Jawa (maaf, mereka mengidentikkan Jawa dengan Islam, padahal nggak selalu, kan?)– juga sudah ada di sini, dijamu khusus oleh keluarga Muslim yang sengaja diundang oleh sohibul bait untuk melayani tetamu Muslim.
Di daerah ini warga setempat selalu begitu setiap menggelar pesta. Tak perdului apakah di antara undangan itu ada yang Muslim atau tidak. Intinya, berjaga-jaga, jika ternyata ada, sudah siaga. Jika pun tidak, tak ada ruginya sebab makanan halal bagi orang Muslim tidaklah haram bagi mereka, alias bisa disantap juga nantinya.
“Di antara kakek dan nenek saya, juga paman dan pakde saya, ada yang Muslim. Di kampung kami apalagi. Kami rukun bahu membahu, termasuk saat membangun atau memperbaiki gereja dan mesjid,” kata rekan saya dari Ende, Flores.
Bahkan di daerahnya, di setiap kampung pasti ada orang Muslim yang mereka percayai untuk memimpin –setidaknya menjadi penasihat– acara-acara tertentu yang melibatkan segenap warga. Bahkan acara pentahbisan seorang Uskup pun melibatkan seorang ulama setempat dalam panitia inti.
Tapi, suatu kali, menjelang perayaan Natal, seorang wartawan dari surat kabar terkemuka yang sedang ‘mudik’ dan nyekar ke makam keluarganya, pernah panik tak kepalang.
Di gerbang pemakaman itu ia disambut para preman berparang yang minta imbalan dengan dalih sudah membersihkan makam, padahal ia tahu persis tak selembar pun rumput liar terpapas di sana. Intinya, suasana Natal dimanfatkan untuk memeras orang-orang yang merayakannya dan hasil perasan itu digunakan untuk pesta mabuk di malam Natal.
Saya mengulasnya di sini tidak dilandasi niat untuk mengistimewakan peristiwa-peristiwa itu, termasuk kelahiran Muhammad bin Juma’a pada Hari Natal 1999. Saat menangani persalinan, pihak rumah sakit milik Yayasan Nasrani di Betlehem ini pun tak melihat istri Juma’a beragama apa. Mereka cuma melihat ada wanita dari barak pengungsian warga Palestina yang mendesak harus ditolong agar bayinya lahir dengan selamat.
Jelas, tidak istimewa, karena setiap kelahiran umat manusia adalah buah keistimewaan Sang Maha Istimewa, Sang Maha Pemilik Segenap Kehidupan sekaligus Sang Maha Penguasa Segala Kematian.
Lho, mengapa kematian? Sebab, bersamaan dengan perayaan Natal (dari kata Yunani, natus — lahir) kita juga menyaksikan tragedi kematian di Ambon, juga di Aceh. Juga di tempat lain. Jika Ambon tercabik oleh perseteruan antara kelompok Muslim dan Kristen, maka Aceh dikoyak perseteruan politik yang mencecerkan penindasan hak asasi manusia — bahkan juga antara mereka yang seagama.
Persoalannya kini, mengapa orang begitu garang dan galak –meminjam istilah Gus Dur– sehingga demikian gampang menyerang, membunuh dan –kalau perlu– memusnahkan orang atau kelompok masyarakat lain sambil berlindung di balik topeng keyakinan?
Masing-masing pihak bisa melontarkan argumen sampai berbuih-buih untuk membenarkan tindakannya, tapi rasanya tak ada satu agama pun yang membenarkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap penganut agama lain.
Orang yang meyakini kebenaran agamanya, tentu tidak akan merasa terhalang untuk bersaudara dengan orang yang beragama lain, sebab hubungan antaramanusia justru akan terasa lebih indah manakala di sana tercermin adanya kebedaan.
Artinya, kebedaan –yang menjadi fitrah umat bumi– itulah yang membuat manusia harus saling berhubungan untuk menemukan persamaan. Dan, dengan cara ini kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu setiap orang.
Kerukunan. Itu, inti persoalan yang mengemuka belakangan ini. Saya heran, megapa orang sesuku dan seagama –apalagi beda suku dan beda agama– bisa baku bunuh. Padahal, sudah berabad‑abad kita hidup dalam suasana yang tenang dan bersama‑sama menciptakan kerukunan yang jadi sesuatu yang khas dalam kehidupan bangsa.
Kini, mari tengok ke Jawa Timur. Pernah suatu ketika beberapa orang dengan beringasnya membantai orang-orang yang mereka anggap sebagi juru santet. Drama ini seolah mengulang insiden beberapa waktu lalu, ketika sejumlah guru ngaji juga dihabisi dengan tudingan yang sama.
Pada kesempatan lain, kita menyaksikan bagaimana para pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser (Barisan Serba Guna — NU) menjaga dan turut mengamankan sejumlah gereja pada suatu perayaan Natal. Tapi tengok pula kompleks Yayasan Doulos di Cipayung, Jakarta yang pernah diobrak-abrik dengan alasan jadi pusat pemurtadan (bagi warga muslim sekitar).
Kita juga menyaksikan, para pemuda PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) menjaga mesjid-mesjid ketika kota Kupang terbakar kerusuhan beberapa waktu lalu. Tapi simaklah Ambon yang pernah terbelah jadi dua kabilah –Muslim dan Nasrani– yang saling serang dan baku bunuh, tanpa ada satu pun pihak yang berhasil meredamnya sampai padam betul.
Kerukunan yang telah lama terjalin, dan di beberapa tempat sudah begitu sublim dalam kehidupan warga, mulai dirusak. Padahal, barang siapa membuat kerusakan dan mengganggu ketentraman orang lain, sesungguhnya dia telah mengkhianati ajaran agama yang demikian mulia dan begitu menaruh tinggi-tinggi martabat serta kehormatan manusiawi setiap manusia.
Kerukunan. Rupanya, inilah yang jadi pekerjaan rumah kita bersama. Saya langsung teringat undangan dari pengurus kampung ketika saya tinggal di Banjarmasin. Isinya, membahas Rukun Kematian. Maksudnya, tentu saja bukan untuk bikin rukun orang-orang yang sudah mati. Tapi dengan kerukunan bersama mengupayakan car mengatasi masalah jika ada warga yang tertimpa musibah, kematian.
Bagi saya, ini penting sekali. Sebab kematian adalah satu di antara tiga titik babakan manusia di alam dunia. Titik pertama adalah natus alias natal atawa lahir, yang merupakan awal kehidupan manusiawi di titik kedua, yakni hidup di alam dzahir. Titik ketiga adalah mati sebagai akhir hidup.
Lihat, di sana ada lahir, ada akhir. Di antara lahir dan akhir ada kehidupan. Kematian alias akhir hidup, adalah awal dari kehidupan tanpa akhir. Persoalannya, apa sih yang sudah kita lakukan dalam hidup itu yang sunguh-sungguh bisa jadi bekal kita pada kehidupan yang tanpa akhir (kekal) itu nanti jika kehidupan tak kekal cuma diisi dengan ketakrukunan? ***
Bandung, 16012000