Posts Tagged ‘yahudi

01
Mar
08

Atas Nama Kerukunan

MUHAMMAD lahir pada Hari Natal di Betlehem. Tak usah protes. Ini fakta human interest yang disiarkan kantor berita Perancis (AFP) untuk memberi ilustrasi perayaan Natal terakhir abad 2000.

rukun.jpgBayi laki-laki itu tak ada istimewanya dibanding ratusan mung­kin ribuan bayi yang dilahirkan pda hari yang sama, Sabtu (25/­12/1999) lalu di seluruh dunia. Ia diangap menarik karena dila­hirkan di Betle­hem, tempat Isa Almasih dilahirkan dua puluh tahun silam.

Sang ibu, Khitam Abdul Hafeiz (24) adalah muslim Palestina yang menghuni barak pengungsian di Aidah, Tepi Barat. Suaminya, Ju­ma’a Abdul Hafeiz (37), dan beberapa anggota keluarga menggotong Khi­tam ke Rumah Sakit Keluarga Suci di Betlehem, tepat di malam Natal ketika Khitam mulai merasakan jabang bayi ‘berontak’ ingin ke­luar.

“Saya namai dia Muhammad. Saya sangat bahagia melahirkan bayi ini tepat pada Hari Na­tal, sebab sama dengan saat lahirnya Nabi Isa, Nabi bagi perda­maian dan cinta kasih segenap umat manusia,” ujar ibu muda itu yang dida­ulat untuk berfoto bersama, menyemarakkan perayaan Natal umat Krisitani di Betlehem.

Itu saja. Tak ada yang istimewa. Sama dengan tidak istimewa nama seorang Marcelinus Ali, yang kakeknya –lalu dijadikan nama marga– bernama Ali, seorang muslim. Atau Irman Husein, yang –karena namanya– sering dikirimi kartu lebaran oleh klien dan relasinya, padahal ia seorang nasrani meski kakek-buyutnya dahulu beragama Islam.

Saya pun pernah ternganga –kagum– oleh ‘toleransi’ dan upaya merajut kerukunan saudara-saudara saya ketika tahun 1995-1996 lalau saya bermukim di daerah yang jelas-jelas mayoritas warganya pemeluk Nasrani.

Pada suatu undangan jamuan pengantin, saya mendadak ‘digiring’ men­jauh dari arena pesta saat waktu bersantap tiba, lalu saya di­antar ke sebuah rumah –100 meter dari tempat pesta.

Di sini telah ter­hidang santapan khusus yang menurut mereka tak tercemar oleh ba­rang haram bagi orang Muslim. Beberapa tamu la­in –terutama pejabat dari Jawa (maaf, mereka mengidentikkan Jawa de­ngan Islam, padahal nggak selalu, kan?)– juga sudah ada di sini, dijamu khu­sus oleh keluarga Muslim yang sengaja diundang oleh sohi­bul bait untuk melayani tetamu Muslim.

Di daerah ini warga setempat selalu begitu setiap menggelar pesta. Tak perdului apakah di antara undangan itu ada yang Muslim atau tidak. Intinya, berjaga-jaga, jika ternyata ada, sudah siaga. Jika pun tidak, tak ada ruginya sebab makanan halal bagi orang Muslim tidaklah haram bagi mereka, alias bisa disantap juga nantinya.

“Di antara kakek dan nenek saya, juga paman dan pakde saya, ada yang Muslim. Di kampung kami apalagi. Kami rukun bahu membahu, termasuk saat membangun atau memperbaiki gereja dan mesjid,” kata rekan saya dari Ende, Flores.

Bahkan di daerahnya, di setiap kampung pasti ada orang Muslim yang mereka percayai untuk me­mimpin –setidaknya menjadi penasihat– acara-acara tertentu yang melibatkan segenap warga. Bahkan acara pentahbisan seorang Uskup pun melibatkan seorang ulama setempat dalam panitia inti.

Tapi, suatu kali, menjelang perayaan Natal, seorang wartawan dari surat kabar terkemuka yang sedang ‘mudik’ dan nyekar ke makam ke­luarganya, pernah panik tak kepalang.

Di gerbang pemakaman itu ia disambut para preman berparang yang minta imbalan dengan dalih su­dah membersihkan makam, padahal ia tahu persis tak selembar pun rum­­­put liar terpapas di sana. Inti­nya, suasana Natal dimanfatkan untuk memeras orang-orang yang mera­yakannya dan hasil perasan itu digu­na­kan untuk pesta mabuk di malam Natal.

Saya mengulasnya di sini ti­dak dilandasi niat untuk mengis­ti­mewakan peristiwa-peristiwa itu, termasuk kelahiran Muhammad bin Ju­ma’a pada Hari Natal 1999. Saat menangani persalinan, pihak rumah sakit milik Yayasan Nasrani di Betlehem ini pun tak melihat istri Juma’a beragama apa. Mereka cuma melihat ada wanita dari barak peng­­ungsian warga Palestina yang mendesak harus ditolong agar bayi­nya lahir dengan selamat.

Jelas, tidak istimewa, karena setiap kela­hiran umat manusia ada­­lah buah keistimewaan Sang Maha Istimewa, Sang Maha Pemilik Segenap Kehidupan sekaligus Sang Maha Penguasa Segala Kematian.

Lho, mengapa kematian? Sebab, bersamaan dengan perayaan Natal (da­ri kata Yunani, natus — lahir) kita juga menyaksikan tragedi ke­­­­­matian di Ambon, juga di Aceh. Juga di tempat lain. Jika Ambon ter­cabik oleh perseteruan antara kelompok Mus­lim dan Kristen, maka Aceh dikoyak perseteruan politik yang mencecerkan penindasan hak asasi manusia — bahkan juga antara mereka yang seagama.

Persoalannya kini, mengapa orang begitu garang dan galak –me­minjam istilah Gus Dur– sehingga demikian gampang menyerang, mem­bunuh dan –kalau perlu– memusnahkan orang atau kelompok masya­ra­kat lain sam­bil berlindung di balik topeng keyakinan?

Masing-masing pihak bisa melontarkan argumen sampai berbuih-buih untuk membe­nar­kan tindakannya, tapi rasanya tak ada satu agama pun yang mem­be­nar­kan penganiayaan dan pembunuhan terhadap penganut agama lain.

Orang yang meyakini kebenaran agamanya, tentu tidak akan mera­sa terhalang untuk bersaudara dengan orang yang beragama lain, se­bab hubungan antaramanusia justru akan terasa lebih indah ma­nakala di sana tercermin adanya kebedaan.

Artinya, kebedaan –yang menjadi fitrah umat bumi– itulah yang membuat manusia harus saling ber­hubungan untuk menemukan per­sa­­maan. Dan, dengan cara ini kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu setiap orang.

Kerukunan. Itu, inti persoalan yang mengemuka belakangan ini. Sa­ya heran, megapa orang sesuku dan seagama –apalagi beda suku dan beda agama– bisa baku bunuh. Padahal, sudah berabad‑abad kita hi­dup dalam suasana yang tenang dan bersama‑sama menciptakan keru­kunan yang jadi sesuatu yang khas dalam kehidupan bangsa.

Kini, mari tengok ke Jawa Timur. Pernah suatu ketika beberapa orang dengan beringasnya membantai orang-orang yang mereka anggap sebagi juru santet. Drama ini seolah mengulang insiden beberapa waktu lalu, ketika sejumlah guru ngaji juga dihabisi dengan tudingan yang sama.

Pada kesempatan lain, kita menyaksikan bagaimana para pe­muda Ansor yang tergabung dalam Banser (Barisan Serba Guna — NU) men­jaga dan turut mengamankan sejumlah gereja pada suatu perayaan Natal. Tapi tengok pula kompleks Yayasan Doulos di Cipayung, Jakarta yang pernah dio­brak-abrik dengan alasan jadi pusat pemurtadan (bagi warga muslim sekitar).

Kita juga menyaksikan, para pemuda PMKRI (Perhimpunan Mahasis­wa Katolik Republik Indonesia) menjaga mesjid-mesjid ketika kota Ku­pang terbakar kerusuhan beberapa waktu lalu. Tapi simaklah Ambon yang pernah terbelah jadi dua kabilah –Muslim dan Nasrani– yang saling serang dan baku bunuh, tanpa ada satu pun pihak yang berhasil meredamnya sampai padam betul.

Kerukunan yang telah lama terjalin, dan di beberapa tempat su­dah begitu sublim dalam kehidupan warga, mulai dirusak. Padahal, ba­­rang siapa membuat kerusakan dan mengganggu ketentraman orang la­in, sesungguhnya dia telah mengkhianati ajaran agama yang demikian mu­lia dan begitu menaruh tinggi-tinggi martabat serta kehormatan ma­nusiawi setiap manusia.

Kerukunan. Rupanya, inilah yang jadi pekerjaan rumah kita bersama. Saya langsung teringat undangan dari pengurus kampung ketika saya tinggal di Banjarmasin. Isinya, membahas Rukun Kematian. Mak­sud­nya, tentu saja bukan untuk bikin rukun orang-orang yang sudah mati. Tapi dengan kerukunan bersama mengupayakan car mengatasi masalah jika ada warga yang tertimpa musibah, kematian.

Bagi saya, ini penting sekali. Sebab kematian adalah satu di an­­­tara tiga titik babakan manusia di alam dunia. Titik pertama adalah natus alias natal atawa lahir, yang merupakan awal kehidupan manusiawi di titik kedua, yakni hidup di alam dzahir. Titik ketiga adalah mati sebagai akhir hidup.

Lihat, di sana ada lahir, ada akhir. Di antara lahir dan akhir ada kehidupan. Kematian alias akhir hidup, adalah awal dari kehi­dupan tanpa akhir. Persoalannya, apa sih yang sudah kita lakukan da­lam hidup itu yang sunguh-sungguh bisa jadi bekal kita pada ke­hidupan yang tanpa akhir (kekal) itu nanti jika kehidupan tak kekal cuma diisi dengan ketakrukunan? ***

Bandung, 16012000 

27
Feb
08

Yerusalem 2000

rami1s.jpg

VERA sengaja dipilih untuk tampil solo membawakan in­tro seka­ligus kemudian sebagai lead vocal, dan solo pada chorus, tentu de­ngan beberapa alasan. Pertama, tentu vokalnya yang tipis dan ta­­jam bagai pedang akan cocok un­tuk ‘menjeritkan’ dramatika derita kor­ban-korban perang. Kedua, wajahnya yang cantik dengan hidung ba­ngir –mirip wa­jah khas Timur Tengah– dan resam tubuhnya yang jang­­­­kung, pas untuk membawakan lagu dengan tema inti pada konflik Timur Tengah itu.

Be­tul saja. Saya merinding ketika menyaksikan kembali tayangan Lingga Binangkit ini pada siaran televisi nasi­onal untuk menyemarakkan per­ingatan Isra Miraj. Adegan klimaks de­­­­ngan Vera (dan terutama vo­kalnya) sebagai ti­tik utama be­tul-betul menancapkan kesan yang men­dalam. Iringan Pur­watja­raka lewat orkestra ‘tunggal’nya yang nya­­ris tak kalah dengan sebuah simponi lengkap, memperkokoh ba­ngunan suasana haru-biru kemelut zona perang yang hendak dieks­­presikan.

……………..
Yerusalem,
Kota Suci Masa Silam
Yarusalem,
Seolah damai telah tiada.
Kisah panjang sebuah bangsa
terusir dari tanah-Nya,
berkelana penuh derita
entah kapan kan berakhir
……………….

Itulah nukilan dari syair yang saya gubah untuk lagu Yerusa­lem, yang no­­­­tasinya ditulis Djuhari –seorang komponis tua Ban­dung yang la­gunya pernah sangat terkenal di tahun 60-an Seuntai Manikam untuk melukiskan keindahan, kecemerlangan dan kedamaian Nusantara– dan aransemennya disusun Purwatjaraka, insinyur jebol­an ITB yang ‘tersesat’ di belantika musik.

Itu tahun 1988. Boleh jadi, saat itu Rami Al­durra dan Mohammed An‑Najjra, ba­­ru –atau bahkan belum– dilahirkan. Dan Vera, saat itu su­dah pas­­ti belum jadi nyonya Elfa Secioria.

Saya teringat kembali pe­nampilan Vera dalam Yerusalem itu, ke­tika menyaksikan tayangan te­le­visi Perancis awal Oktober. Rami –bocah 12 tahun– itu tersungkur tewas di pangkuan ayahnya yang meringkuk, beru­sa­ha berlindung dari hujan peluru. Tubuh ringkih bocah itu di­ko­yak-koyak peluru yang daitabur serdadu Yahudi di Yerusalem, (sekuen foto yang diambil dari rekaman videonya ini kemudian disiarkan secara luas oleh media cetak).

Sedangkan An‑Najjra, tewas dengan lubang di kening dan bela­kang kepalanya. Peluru tajam yang dilepas ser­dadu Israel, dengan mu­dah menembus tulang muda batok kepala anak itu di Khan Yunis, se­latan Jalur Gaza, dua minggu setelah Rami gugur dan dimakamkan lewat proses yang emosional.

Aldurra dan An-Najjra ser­­ta bocah-bocah tang­gung lainnya yang bergelimpangan itu, hanyalah sebagian di antara lebih 120 (sam­pai pekan ketiga Oktober) war­ga Palestina yang tewas ditem­baki ser­dadu Yahudi. Se­jak konflik meletus lagi menyusul provo­kasi bekas Menteri per­tahanan Israel Ariel Sharon, Yarusalem kini kem­bali diperciki darah para syu­hada.

Ya, Yerusalem. Kota Suci sepanjang masa, tonggak Mi­raj-nya Mu­­­ham­mad me­nuju Sidratul Muntaha, melanjutkan Isra dari tepi Ka­bah di bawah bimbingan Jibril. Disebut tempat suci, karena pada ti­tik –di mana kini berdiri Masjidil Aqsha– inilah, Muhammad sembahayang se­belum ‘bertolak’ menemui Sang Khalik, menyem­pur­na­kan kerasulannya.

Karena itulah, sangat bisa dipahami jika umat Islam marah ke­­­­tika Ariel Sharon ujug-ujug petantang-petenteng ke Baitul Maq­dis. Sejak beberapa lama nama Sharon yang tenggelam, kini hampir tiap ha­ri disebut-sebut lagi di media massa seluruh dunia, menyu­sul la­­­wat­annya Kamis 28 September yang menyulut amarah dan ke­mudian mem­bangkitkan kembali intifada yang berdarah-darah itu.

Sharon diberhentikan oleh Menachem Begin –ketika itu Per­da­­na Menteri Israel– dari jabatannya selaku Menteri Pertahanan ber­­kaitan dengan trgedi Sabra dan Shatila, kamp pengungsi Pa­les­tina di barat Beirut, Lebanon. Itu pun atas tekanan dunia in­terna­si­onal. Orang tak akan per­nah lupa pem­bantaian 16 Sep­tember 1982 oleh pasukan milisi Fa­langis dukungan Sharon. Se­dikitnya 300 war­ga Arab, umumnya wa­nita dan anak‑anak, tewas ber­kuah darah di barak pengungsian Sabra dan Shatila.

Sharon mengomandokan penyerbuan besar‑besaran ke Libanon Se­latan tahun 1982 dengan dalih mengusir pejuang Organisasi Pem­be­bas­an Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat. Katanya sih, ins­truksi penyerbuan ini disusun secara rahasia oleh Sharon tanpa kon­­sultasi ke Knesset, parlemen Israel. Makanya –setelah korban bergelimpangan, dan dunia mengecam– kalangan anggota Knesset me­nentang keras penyerbuan ke Lebanon. Tapi akhirnya mereka toh me­nyetujui pencaplokan atas wilayah Lebanon Selatan.

Sejak Israel memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1948, se­tidaknya tercatat empat peperangan dahsyat antara bangsa Arab dan Yahudi, yakni perang tahun 1948, 1956, 1967, dan tahun 1973. Pe­rang tahun 1967 Israel berhasil mencaplok Semenanjung Sinai dan Ja­­lur Gaza di Mesir; Jerusalem; Tepi Barat Sungai Yordan di Yor­dania; dan Dataran Tinggi Golan di Su­riah.

Sedangkan pada Perang Oktober 1973 yang bertepatan dengan Yom Kipur, Hari Suci dalam kalender Yahudi, dan Bulan Suci Ra­ma­dan bagi umat Islam, giliran bangsa Arab (Mesir) mengungguli pe­rang besar yang mereka analogikan dengan ‘Perang Badr II’ itu. Tak kurang dari 2.700 serdadu Israel tewas. Dan, Bar Lev, kawasan Me­sir di semenanjung Sinai yang dicaplok Israel tahun 1967, kem­bali ke pangkuan Mesir.

Nah, ‘keunggulan’ Arab dan ‘kekalahan’ Israel pada perang 19­67 ini­lah yang akhirnya memaksa Israel bersedia maju ke meja pe­run­dingan damai. Namun, itu pun memerlukan proses yang lama dan ber­belit –sekitar 12 tahun– sehingga baru diteken di Camp David (AS), tahun 1979. Meski, kita tahu semua, sesungguhnya Israel tak per­­nah konsisten. Akibatnya, konflik ber­darah te­rus melumuri Yerusalem serta kota-kota lain di jazirah itu.

Itu pula yang bikin gregetan pihak mana pun yang selama ini men­­junjung tinggi perdamaian dan penghormatan penuh atas hak asa­si manusia. Di antara bangsa Yahudi sendiri, banyak yang lebih cin­­­ta kerukunan hidup dengan bangsa Arab ketimbang terus-menerus baku serang. Demikian halnya di kalangan bangsa Arab. Sosok Yas­ser Arafat dan Shimon Perez bisa mewakili dua kutub yang bertemu pada titik kepentingan sama itu: perdamaian.

Semangat itu pula yang menggerakkan para tokoh politisi, aga­­­mawan, dan ilmuwan dunia, mau bergabung dalam yayasan untuk per­damaian yang diprakarsai Shimon Perez. Termasuk dalam barisan ini ada­lah KH Abdurrahman Wahid yang ketika itu sebagai cende­ki­awan Is­­lam terkemuka dari Indonesia, sekaligus pemimpin jutaan Nah­dliyin.

Namun di Indonesia, situasinya bisa lain lagi. Kedudukan Gus Dur pada yayasan itu belakangan dipersoalkan, malah dijadikan amu­­nisi untuk mem­be­rondong kedudukannya pada kursi presiden. De­ngan mengambil mo­men­tum kebiadaban Israel atas bangsa Palestina yang dipicu insi­den di Yerusalem, orang mendesaknya untuk keluar dari yayasan itu se­bagai pernyataan sikap keberpihakan Indonesia kepada pen­de­ri­ta­an rakyat Palestina.

Orang lupa, bahwa yayasan itu didirikan dengan tujuan meng­galang upaya-upaya perdamaian. Keluar dari organisasi itu, atau bahkan membubarkan sekaligus lembaga tersebut, tidaklah menjamin bang­sa Palestina akan bebas dari penindasan Israel.

Begitu pun, ji­ka ditakdirkan Palestina memenangkan perti­kai­an ini atas dukungan dan keberpihakan negara-negara lain, tak ada yang bisa menjamin bangsa Israel bebas dari pe­nindasan bangsa Arab, atau bahkan mungkin upaya pe­mu­nahan –karena di­anggap jadi biangkerok kekacauan– sebagaimana per­nah dilakukan re­­zim Hitler da­hulu akan terulang lagi.

Jika ini yang terjadi, maka keadaan akan te­rus demikian, se­bab hidup tidak lagi dilandasi cinta kasih se­jati sebagai sesama mah­­luk cipataan Tuhan. Perdamaian tak akan pernah terwujud selama hu­bungan antarumat manusia dilandasi kebencian dan balas dendam, seperti yang tengah terus berkecamuk di Palestina-Israel.

Di Tepi Barat, menjerit ribuan umat.
Siksa ganas membara di sepanjang Jalur Gazza
eperti Sabra dan Shatila, saat insan lupa sesama
Hidup dalam dendam membara,
antara darah darah dan ama­rah.

Yerusalem……,
Yerusalem……,
Yerusalem……!

(Nukilan –refrein– syair Yerusalem – 1988)

Bandung, 25 Oktober 2000

08
Feb
08

Serambi Dukacita

duka.jpg

Pabila sukacita
datang bertamu
di meja makanmu,
ingatlah selalu
bahwa sang dukacita
sedang ternyenyak
di pembaringanmu.

(:Khalil Gibran)

DENGAN jubah hitam, topi –mirip topi koboi– hitam, celana panjang dan sepatu serba hitam, wajah dihiasi kumis, cambang, dan janggut yang merimba, Abraham Wess sang rabbi memimpin 50 orang Yahudi berkumpul di depan Konsulat Jenderal RI di New York.

Wajah mereka diredupi kepedihan. Di sebuah tempat, ribuan kilo meter dari Banda Aceh yang porak poranda disentak gempa dan disapu gelombang maut, mereka tepekur dalam dukacita.

“Rasa simpati tidak terbatas karena perbedaan bangsa dan agama,” kata Wess. Minggu (2/1/05), rahib ini secara khusus datang menyampaikan rasa simpati, turut bela sungkawa, dan berdoa bersama umat Yahudi di sana.

Ya. Dukacita –seperti juga sukacita– tak pernah mengenal perbedaan kasta, suku, pangkat, golongan, keturunan, agama, dan segala macam embel-embel identitas manusia.
Sepanjang manusia punya hati, pasti dia akan merasakan sukacita, sebagaimana seorang pemilik nurani tergetar oleh dukacita yang dialami sesamanya.

Itu pula yang tampaknya sangat dirasakan Jeff Vorce, lelaki tegap dan gagah asal San Diego, AS. Letnan penerbang angkatan laut yang sudah kenyang menyaksikan kematian di berbagai medan perang ini cuma bisa termangu ketika mendarat di Meulaboh.

Dukacita segera menerjangnya, menggedor keperkasaan perasaannya sebagai “Rambo” asli masa kini. Ia saksikan kawasan hancur total sejauh mata memandang. Reruntuhan rumah. Puing-puing. Dan, ruap bau kematian.

Hanya orang tidak waras yang tak tergetar nuraninya menyaksikan betapa dahsyat akibat bencana yang disentakkan kerak bumi nun ratusan kilo meter di bawah dasar samudera itu.

Dengan sekali kejut, bumi gonjang-ganjing. Laut melonjak menjulurkan gulungan ombak yang meremas apa pun yang ada di atas permukaannya, dan menjilat sejauh-jauhnya apa pun yang ada di daratan.

Ribuan mayat yang bergelimpangan di segala penjuru seharusnya menendang jantung kesadaran kita, bahwa manusia itu nyata benar cuma mahluk amat lemah, sangat kecil, dan fana.

Kesadaran atas kenyataan bahwa manusia ‘sekadar’ debu di tengah ketakterbatasan alam semesta itulah yang kemudian membawa mereka pada kesadaran lain, bahwa karena kecil dan tak berdaya maka manusia harus berpadu bergandeng tangan meghadapi realitas dunia.

Tayangan terus menerus televisi, dan sajian berbagai media massa, membuat kita semua seolah berada di dalamnya –dan jadi bagian– dari bencana dahsyat ini.

Begitulah, sejak Mingu (26/12), sepanjang hari, setiap jam, menit demi menit, bahkan hampir setiap detik, denyut nadi kita seakan tak henti menyentakkan rasa nyeri. Kematian. Kehancuran. Kesengsaraan. Semuanya begitu dekat, begitu cepat, begitu nyata.

Banda Aceh, Meulaboh, Nias, Andaman, Maladewa –yang sebelumnya mungkin tak kita tahu letaknya di peta– mendadak jadi bagian dari kita. Kita berada di dalamnya, bersama-sama menyaksikan maut yang menyambar-nyambar tanpa ampun. Bersama-sama merasakan kegetiran, penderitaan, duka cita, mencabik-cabik nurani, setiap saat, setiap tarikan napas.

Hanya selang beberapa jam sesudah itu, kita pun menyaksikan gelombang kesadaran yang datang sebagaimana tsunami. Sebuah gempa solidaritas yang disusul gelombang kesetiakawanan yang demikian massif.

Gelombang ini bergerak dari berbagai belahan penjuru bumi, bergulung dan bersatu menuju satu titik yang sama, entah di Aceh, entah di Kerala, entah di Phuket.

Kecanggihan media masa kini telah memembuat kita terlibat dan dengan seketika jadi bagian dari peristiwa itu. Hampir tak ada satu pun media yang melewatkan tragedi itu sebagai fokus pemberitaannya, dan langsung menusuk tepat di tengah jantung kesadaran umat manusia. Dukacita itu menimpa kita semua.

Ketika Tanah Rencong dicabik-cabik operasi militer, darurat militer dan terakhir darurat sipil, yang menelan ribuan korban, warga dari negara-negara lain cukup menganggapnya sebagai ‘urusan dalam negeri’ yang tak patut dicampuri.

Mengapa? Karena di situ ada sekat bernama politik, diplomasi, birokrasi, pemerintahan, ideologi, kebangsaan, dan lain sebagainya. Di sana ada sopan-santun politik, ada tatakrama berbangsa dan bernegara, ada kesepahaman –dan ketidaksepahaman– ideologi.

Lalu manusia mana yang bisa tetap berdiri di atas segala keangkuhan embel-embelnya itu manakala ditunjukkan bahwa dengan feneomenanya yang ‘kecil’ saja –dibanding kemahabesaran semesta– alam bisa menjungkirbalikkan segala kekuatan manusia itu?

Dibanding air saja, ya, cuma air, kita enggak ada apa-apanya. Dalam skala tsunami, air dengan enteng mengombang-ambingkan mesin pembunuh semacam tank baja –dibeli dengan bau skandal pula– tak lebih dari sepotong ranting. Melempar kapal-kapal jauh ke daratan. Apalagi manusia yang cuma tersusun dari darah dan daging.

Namun karena manusia punya rasa, punya hati, dan punya isi kepala, maka ia bisa berduka sebagaimana ia sangat mampu bersuka. Lebih dari, itu mereka mampu berpikir, bernalar, menganalisa, bahwa dukacita tidak boleh membungkusnya terlalu lama karena hidup harus tetap berjalan terus.

“Meski sangat sulit, kita harus segera melupakan tragedi itu. Hari-hari ini adalah saat-saat kita memulai kembali aktivitas. Betapa pun kecilnya peran kita, justru akan sangat berarti jika mau berbuat sesuatu bagi masyarakat,” tulis Serambi Indonesia, dalam tajuk hari ketiga penerbitan daruratnya.

Luar biasa! Suara itu datang dari warga Aceh sendiri. Suara salah satu korban yang lolos dari kematian. Suara orang yang kehilangan lebih seratus rekannya. Suara orang yang kehilangan hampir 100 ribu sanak-famili, tetangga, dan warga se-kampung halamannya di Banda Aceh.

Saya tergetar membaca tajuk rencana itu. Boleh jadi, inilah salahsatu karakter tulen putra Aceh. Ketegaran dan ketabahan yang mengalir dari iman perjuangan mereka dalam menghadapi tiap denyut kehidupan, tidak pernah membuatnya membiarkan diri kalah –apalagi dikalahkan– keadaan.

Hidup terus mengalir dan harus dihadapi. Suka maupun duka.

Betul kata Gibran, ketika sang dukacita datang mengamuk di serambi hari baru, ingatlah selalu bahwa sukacita sedang terlelelap di pembaringan hari ini.

Jadi, bangunkanlah. ***

Bandung, 040105




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031