Posts Tagged ‘bimbo

01
Mar
08

Gito Pergi, Ingat Harry

gito-rollies-pergi1.jpg

Setelah 3 Tahun Melawan

KAMIS (28/02/2008) malam datang berita, Bangun Soegito alias Gito Rollies sudah pergi. Perjuangannya melawan kanker getah bening sejak tiga tahun lalu, sudah berakhir. Inna lillahi wainna ilaihi rojiun. Segala yang berasal dari-NYA, semua kembali kepada-NYA.

Satu lagi, tokoh yang jadi ikon perkembangan musik di tanah air pergi. Sebelumnya Harry Roesli –musisi eksentik—pergi setelah bergelut dengan penyakitnya. Gito, dengan teman-temannya Uce F Tekol, Deddy Stanzah, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa, dan Teungku Zulian Iskandar menggebrak panggung musik dengan The Rollies-nya.

Kiprah musik anak-anak Bandung di tahun 70- an itu tambah marak majalah Aktuil (Remy Sylado) yang khurus mengulas perkembangan musik dan “memprovokasi” kawula muda untuk melahirkan gerkan-gerakan baru di bidang musik.

Selain Rollies, saat-saat itu ada Rhapsodia (Soleh), Paramour (Djadjat Kusumahdinata – alm), dan Giant Step (Benny Soebardja) yang tak kalah garang jika tampil di panggung. Pada jalur lain, ada Bimbo yang bahkan tetap eksis hingga hari-hari ini.

Selain kelompok-kelompok itu, tentu ada tokoh-tokoh yang bergerak dengan jalurnya sendiri, seperti Harry Roesli sang legenda perkusi, kemudian ada nama-nama lain seperti Yan Hartland, Harry Sabar, Nicko-Nicke, Nikki Ukkur dan lain-lain yang marak pada peridode berikutnya.

Kepergian Gito, mengingatkan saya pada perginya Kang Harry (sapaan akrab Harry Roesli) 11 Desember 2004 yang saya tulis untuk Curah, BëBAS edisi minggu kedua Desember tahun yang sama:

Harry, Hakekat Bunyi

HARRY Roesli, adalah profesor musik yang lebih dikenal sebagai musisi bengal. Sebagian orang memandangnya sebagai pemusik paling ganjil. Ada lagi yang memujanya karena cucu pujangga besar Marah Roesli ini adalah pakar perkusi.

harryroesli.jpg

Ada yang menyebut Harry sebagai seniman komplet. Ada yang menjulukinya filsuf musik yang memperkenalkan hakekat bunyi. Bagi Harry, segala sesuatu yang (bisa) berbunyi dan dibunyikan pada dasarnya adalah musik.

Maka suara orang menyikat gigi, bunyi krupuk dikunyah, deru sepeda motor, jangkrik, gemerisik kertas, tetesan air, pompa, siulan angin, bahkan batuk, bisa disusun sebagai komposisi dan ditampilkan dalam orkestrasi yang spektakuler. Menggedor, menyentak, kadang meneror, tapi sekaligus menghibur.

Baginya, detak jantung pun adalah musik. Irama kehidupan. Tinggal kemudian, bagaimana kita memaknai dan membuatnya jadi bernilaiguna bagi orang banyak.

Bertahun lalu –teriinspirasi pengalamannya dirawat di ru­mah sakit akibat stroke— ia menyodorkan sebuah kom­posisi yang lebih tepat disebut musik jan­tung. Se­buah eksperimen yang luar bi­asa mencengangkan.

Ia menunjukkan betapa spektakuler sesungguhnya peran organ lembek-lem­bek kenyal yang tersembunyi di balik tulang iga itu. Betapa berartinya degup lembut ini bagi mahluk hidup. Sejumlah mikropon kecil yang amat sensitif di ditempelkan di bagi­an-bagian tubuhnya. Ia hubungkan ‘katoda-katoda mik­ropon’ ini dengan pe­rangkat penguat suara lalu disalurkannya ke unit-unit pengeras suara di sekeliling panggung.

Para musisi menghadapi partitur komposisi yang memandu mereka me­na­ngani alat masing-masing dan memainkannya dalam konser dengan suara jantung sebagai salah satu unsur.

Maka, jantung tidak lagi cuma degup lembut melainkan dentaman timfani yang menggelegar, menyentak, dan menggedor tidak saja mekanisme alat pendengaran, tetapi nyaris menggetarkan se­luruh jaringan tubuh. Mencekam sekaligus mencengangkan, juga menyentak dan meneror pikiran.

Orang yang menyimaknya tiba-tiba merasa sedang berada di dalam –dan jadi bagian– tubuh itu sendiri se­hingga dengan jelas mendengar gelegar irama jantung, ge­merisik darah mengaliri nadi, gemuruh udara keluar ma­suk paru-paru, dan decit licin organ-organ lembek berlemak yang saling bersinggungan menggelenyarkan ke­­hi­dupan.

Ya. Kehidupan. Dan, degup lembut jantung jadi tan­da­nya. Ber­degup berarti hidup. Berhenti, sama dengan mati. Namun karena lem­butnya, sering­kali degup itu tak disadari. Apalagi jantungnya.

Padahal kalau sa­ja kita selalu saksama meresapi de­gup lembut itu, mungkin kita tak akan membi­ar­kan hidup meng­alir sia-sia dengan berbagai perbuatan yang hanya mem­perce­pat­nya ber­henti.

Harry Roesli sangat menyadari komplikasi dan tingkat keparahan penyakit seperti yang dideritanya, namun ia menunjukkan semua itu bukan hambatan untuk terus berkarya agar hidup tetap bermakna. Tidak semata bagi diri sendiri, tapi bagi semua orang.

Karena itu, Harry tak hanya bermusik. Bagi orang yang mengaguminya sebagai kolomnis, Harry adalah penulis yang ungkapan-ungkapannya kadang sukar diduga dan melejit dari kelaziman namun menohok langsung ke sasaran sambil tetap jenaka sehingga kritik-kritiknya sukar ditepis.

“Persis seprti komposisi musiknya. Tulisannya aneh, ganjil, lucu, tapi menukik tajam dan menabrakkan kita pada realitas yang kadang menyakitkan tanpa kita merasa sakit,” kata seorang budayawan di Bandung.

Musik adalah aliran darah dan denyut nadi serta jantungnya. Menulis adalah ekspresinya yang lain sebagaimana demonstrasi, sementara mengasuh dan melayani serta menyenangkan orang lain, adalah sisi sosialnya yang sangat sulit dilupakan banyak orang.

Ketika warga kota Bandung dipusingkan para pengamen di simpang-simpang jalan, Harry justru meraih mereka, memberinya tempat berteduh, berlindung, dan belajar. Baginya, para pengamen dan para demonstran adalah sama, kelompok muda yang harus didampingi –bukan dihadapi dengan tangan besi.

Hingga kini sekitar 30.000 pengamen –baca tiga puluh ribu pengamen– yang bertebaran di berbagai kota di Jawa Barat tetap menganggap Harry sebagai bapak asuh. Bayangkan, bagaimana hari-hari itu ‘mengasuh’ anak jalanan sebanyak ini.

Boleh jadi karena ‘keganjilannya’ itu posisi uniknya di dalam dunia seni –terutama musik– Indonesia seakan tanpa padanan. Bagi Harry, musik dalam kerangka pengertian wacana estetika dengan segala trik‑trik formalitas bangunan artistiknya (bentuk komposisi, strukturisasi, harmonisasi dan sebagainya) bukanlah tujuan utama.

Dia bilang, musik hanyalah alat untuk menyampaikan seluruh pikiran dan pesan yang akan saya sampaikan. Musik –dengan demikian– hanyalah sebagian elemen saja dari seluruh karya yang bersifat tontonan. Tontonan itu harus mengandung makna lebih dari sekedar “hanya” musik.

Mungkin betul, Dieter Mack –dalam salah satu risalahnya tentang musik di Indonesia– menyamakan Harry Roesli dengan Frank Zappa. Di mata guru besar musik dari Jerman ini, Harry dan Zappa sama-sama banyak menggunakan bahasa musik “mixed media” (medium campuran).

Kritik sosial, sindiran politik, keprihatinan situasi, pesan‑pesan moral, pemutarbalikan logika, pelecehan takhayulisasi tata nilai, ukuran‑ukuran norma, guyonan ke(tidak)adilan, negasi, gugatan, cacian, humor, dan apa pun yang ingin disampaikannya akan ia luncurkan melalui ‘jalan tol’. Langsung, tanpa hambatan.

Harry telah pergi. Dan, Indonesia kehilangan (lagi) salah satu putra terbaiknya. Tokoh bernama asli Djauhar Zaharsjah Fachrudin Roesli yang lahir 10 September 1951 ini meninggal 11 Desember 2004 karena gagal jantung disertai gagal paru-paru dan ginjal.

Saat-saat sebelum ia tak sadarkan diri di tengah parawatan di RS Harapan Kita Jakarta, ia masih ‘berulah’. Dengan ujung telunjuknya yang sudah membengkak, ia menuliskan kata “Bosan” pada alat pacu jantung yang membantu mempompa agar darahnya terus mengalirkan kehidupan.

Entah itu berarti ia sudah menyerah –pasrah, tidak mampu memberontak lagi pada kehidupan– atau memang betul-betul bosan karena sekian lama tak bisa bergerak. Tubunya terbaring dengan saling-silang kabel dan selang penopang kehidupan.

“Ini kan Desember, kabel‑kabel ini kayak pohon natal saja,” ujarnya lagi melirik juntaian kabel dengan latar belakang kerlipan lampu-lampu digital perangkat elektronik penunjang rawat.

“Kalau Munir mati diracun, maka saya meracuni diri sendiri dengan makanan dan rokok,” ujarnya hanya beberapa saat sebelum ia menyerah pada sang maut. Pada saat-saat seperti itu pun, ia masih meluncurkan kritiknya, tidak saja pada dunia luar. Tapi juga pada diri sendiri, dengan tujuan mengingatkan orang lain.

Itulah Harry Roesli. ***

Bandung, 141204




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031