IKLAN itu tak mencolok. Terselip di antara deretan iklan baris yang padat. Hanya dua baris-dua baris di bawah kop ‘Pijat.’ Bunyinya pun tak provokatif sebagaimana iklan-iklan lain. “Pria Macho; 24 jam, telepon 08xx xxxxxx”. Satunya lagi berbunyi; “Tampan & Atletis, Jalan Anu, 24 jam tlp 08xx xxxxxx” atau ini, “Venus Boy, siaga 24 jam, 08xx xxxxxx,” dan seterusnya.
Saya hitung, ada enam pengiklan jasa ‘pijat’ istimewa ini. Mengapa ‘pijat’ saya kasih tanda petik? Ya, maklumlah. Sementara ini tak mungkin ada surat kabar yang berani membuat kop iklan baris “gigolo” misalnya. Tapi, apakah mereka yang mengiklankan itu memang berprofesi gigolo? Bisa ya, bisa juga tidak salah.
Atas bantuan seorang wanita –rekan sekerja– yang coba meneleponi para juru pijat itu, arah perbincangan pada akhirnya memang burujung pada soal ranjang. Dua juru pijat yang terkena pancingan, sempat menyebut beberapa nama yang menurutnya adalah langganan tetap. Entah benar, atau cuma pengakuan, tak begitu jelas.
Yang agak jelas tentunya iklim keterbukaan akhir-akhir ini telah membuka keberanian para lelaki yang punya profesi khusus memijat para perempuan, mengiklankan diri. Hal ini juga membukakan satu lagi fenomena sosial, bahwa di sebuah kota besar di Indonesia, kaum perempuan pun sudah tak sungkan lagi membiarkan dirinya dijamah lawan jenis dan untuk itu ia rela membayarnya.
“Hari biasa, cukup 30 dolar sejam, minimal dua jam,” ujar salah seorang di antara tiga Venus Boys, saat dikontak rekan saya –sambil nyaris tak bisa menahan cekikik– yang wanita itu. Tempatnya, bisa di hotel (ia menyebut sebuah hotel yang cukup terkenal) bisa pula di rumah ‘pasien’. “Masnya lagi keluar kota kan?” kata Si Venus itu lagi. Bah, sudah tak percaya rupiah, sok tahu pula dia.
Iklan seperti itu ternyata tak cuma saya jumpai di rurat kabar ternama di kota kelahiran saya ini. Tetapi juga pada sebuah surat kabar terbitan Jakarta dan terbitan Surabaya. Entahlah, pada surat kabar yang terbit di kota-kota lain. Tapi, menurut bisik-bisik rekan yang tahu betul alam remang-remang, praktek seperti di atas juga sudah terjadi di kota-kota di luar Jawa, bahkan sejak dua atau tiga tahun silam. “Cuma memang belum ada yang berani pasang iklan. Biasanya, iklan dari mulut ke mulut saja,” kata sang rekan.
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu, ketika seorang teman yang baru pulang dari Darwin Australia membawa segepok surat kabar lokal. Pada kolom iklan baris dan iklan koloman, termuat iklan-iklan seperti di atas. Hanya saja mereka tampak lebih berani. Tak cuma mencantumkan nama dan nomor telepon, mereka juga memasang foto setengah badan, sekaligus tarif per jam.
Para lelaki, ada yang tampil mirip Rambo, ada juga yang memamerkan kekerempengan badannya, sedangkan para perempuan yang mengiklankan diri rata-rata memasang foto mereka sangat atraktif, sensual dan hanya bisa ditandingi majalah porno. Mereka juga lebih terbuka mengiklankan keterampilan khususnya dalam berolah ranjang.
“Anda jenuh? Teleponlah. Saya datang, dan kita bereskan semuanya ditempat tidur,” tulis Camilla yang fotonya terpasang dengan buah dada menyembul mirip sepasang balon gas. Ia juga merinci keterampilan khusus apa saja yang siap diperagakan, eh dipraktekannya pada pelanggan. Pembayaran? Beres. Bisa Master, Visa atau American Express!
Saya membayangkan, boleh jadi dalam beberapa tahun ke depan, majalah dan surat kabar kita pun bisa saja memuat iklan seperti itu tidak lagi sembunyi-sembunyi seperti yang saya temukan pada surat kabar terbitan Bandung, Jakarta, dan Surabaya itu. Entahlah di kota seperti Banjarmasin. Saya berharap, jangan dululah. Masih banyak cara lain yang lebih santun untuk melepas birahi di luaran, atau sekadar untuk … selingkuh. Heheheh.
Tapi lambat laun, bukan tak mungkin fenomena seperti ini juga merambah ke daerah-daerah yang masing-masing memiliki kota besar dan kota itu berkembang sebagaimana hukumnya sebuah habitat metropol dengan berbagai gejala ikutannya, termasuk berubahnya pola perilaku individu dan kelompok masyarakat penghuninya.
Perilaku seksual, misalnya. Kini makin terbuka saja. Seorang wartawati di Bandung yang ‘iseng’ melakkan polling atas 30 perempuan eksekutif di berbagai perusahaan di kota itu memperoleh gambaran 18 di antaranya atau 60 persen, mengaku lebih dari sekali berselingkuh sampai ke tempat tidur. Sisanya, mengaku sesekali berselingkuh, dan kadang sampai bermain ranjang.
Sedangkan dari para ‘pria macho’ dan lelaki-lelaki ‘venus boy’, rekan saya wartawati, mendapat pengakuan bahwa para pelanggannya rata-rat bersuami dan suaminya tergolong sukses dalam bisnis maupun karir birokrat. Malah di antara ‘pria macho’ itu ada yang mengaku pernah dipertemukan dengan suami sang langganan.
Pertanyaan yang kemudian timbul, harus seperti itukah pola perilaku yang menyertai perkembangan kemajuan sebuah habitat hunian bernama metropol di Indonesia? Meski kecenderungan ke arah pola gaul dan pola hidup seperti itu sudah mulai tampak di beberapa kota besar, saya yakin masih banyak orang yang akan keberatan bila perilaku seperti itu diumbar bebas, dipamerkan secara terbuka.
Maklum, keterbukaan yang begitu deras melanda itu, bagi sebagian bangsa kita masih diterima dan diterjemahkan setengah-setengah dengan berlindung di balik kedok ‘adat ketimuran’ yang katanya tak mengizinkan hal-hal tertentu –yang bersifat sensitif– dibuka secara bebas.
Padahal, kalau kita lihat lagi ‘adat ketimuran’ yang kita agung-agungkan itulah yang sebenarnya lebih terbuka, jujur, dan lebih bebas. Simak saja adat warga kita yang tinggal di tepi-tepi sungai besar. Dengan gampang kita melihat lekak-lekuk tubuh tetangga. Menerawang di balik kain basah, justru makin menrangsang imajinasi yang bukan-bukan. Laki atau perempuan sama saja. Dan kini kita teriak, hal-hal yang terbuka seperti itu mengingkari adat ketimuran. Lho?
Bukankah nenek moyang kita baru mengenal busana secara tertutup justru setelah berkenalan dengan adat Barat? Bukankah kebaya, gaun dan sebagainya merupakan serapan dari adat Barat yang selalu kita anggap sebagai buruk dan terlalu bebas itu? Bukankah adat ketimuran yang kita miliki dalam berbusana adalah cawat dan koteka. Bukankah perilaku seksual dan perkawinan yang sekarang berlaku pun merupakan barang impor dari Barat, atau paling tidak dari Timur Tengah, Cina dan India?
Jadi, mengapa heran kalau kemudian sebagian di antara warga bangsa kita kembali ke habitat asalnya yang serba bebas itu? Bukankah sebagian kecil saudara-saudara kita masih bertahan dengan adat ketimurannya, pada habitat hidup yang merawat dan membesarkannya di pedalaman Kalimantan, di Irian, bahkan di pedalaman Jawa?
Artinya, pola perilaku yang kini berkembang di sebagian masyarakat kota besar itu, sebenarnya sedang menuju ke arah ‘budaya asalnya’ yang serba terbuka, bebas, dan mudah-mudahan saja jujur, adil, dan demokratis.
Hehehe, kayak slogan pemilu saja. ***
Bandung, 03042000