Posts Tagged ‘jawa

17
Mar
08

Venus Boy, Siapa Mau?

venus-boy1.jpg

IKLAN itu tak mencolok. Terselip di antara deretan iklan ba­ris yang padat. Hanya dua baris-dua baris di bawah kop ‘Pijat.’ Bu­­nyinya pun tak provokatif sebagaimana iklan-iklan lain. “Pria Macho; 24 jam, telepon 08xx xxxxxx”. Satunya lagi berbunyi; “Tam­pan & Atletis, Jalan Anu, 24 jam tlp 08xx xxxxxx” atau ini, Ve­nus Boy, siaga 24 jam, 08xx xxxxxx,” dan seterusnya.

Saya hitung, ada enam pengiklan jasa ‘pijat’ istimewa ini. Mengapa ‘pijat’ saya kasih tanda petik? Ya, maklumlah. Sementara ini tak mungkin ada surat kabar yang berani membuat kop iklan baris “gigolo” misalnya. Tapi, apakah mereka yang mengiklankan itu memang berprofesi gigolo? Bisa ya, bisa juga tidak salah.

Atas bantuan seorang wanita –rekan sekerja– yang coba me­ne­leponi para juru pijat itu, arah perbincangan pada akhirnya me­mang burujung pada soal ranjang. Dua juru pijat yang terkena pan­cingan, sempat menyebut beberapa nama yang menurutnya adalah lang­ganan tetap. Entah benar, atau cuma pengakuan, tak begitu jelas.

Yang agak jelas tentunya iklim keterbukaan akhir-akhir ini te­lah membuka keberanian para lelaki yang punya profesi khusus memijat para perempuan, mengiklankan diri. Hal ini juga membu­kakan satu lagi fenomena sosial, bahwa di sebuah kota besar di In­donesia, kaum perempuan pun sudah tak sungkan lagi membiarkan dirinya dijamah lawan jenis dan untuk itu ia rela membayarnya.

“Hari biasa, cukup 30 dolar sejam, minimal dua jam,” ujar sa­lah seorang di antara tiga Venus Boys, saat dikontak rekan saya –sambil nyaris tak bisa menahan cekikik– yang wanita itu. Tem­­patnya, bisa di hotel (ia menyebut sebuah hotel yang cukup ter­kenal) bisa pula di rumah ‘pasien’. “Masnya lagi keluar kota kan?” kata Si Venus itu lagi. Bah, sudah tak percaya rupiah, sok tahu pula dia.

Katanya sih, ia sudah punya pelanggan tetap yang minta ‘di­urut’ saban Minggu. Karena itu, ia memasang tarif khusus jika di­panggil atau ‘digunakan’ pada hari tersebut. “Yaa, untuk tambahan beli viagra, kan?” celotehnya dengan nada agak lanji.
Katanya la­gi sih, saat ditelepon itu dia sedang memelihara perkutut, eh per­­kakasnya, setelah dua malam lalu kerja keras di tiga pelang­gan. Kontan saja wajah rekan saya –yang saya minta bantuan untuk menelepon– itu memerah, sementara mulutnya berkerut ke­lisut berusaha me­nahan semburan tawa.

Iklan seperti itu ternyata tak cuma saya jumpai di rurat ka­bar ternama di kota kelahiran saya ini. Tetapi juga pada sebuah surat kabar terbitan Jakarta dan terbitan Surabaya. Entahlah, pa­da surat kabar yang terbit di kota-kota lain. Tapi, menurut bi­sik-bisik rekan yang tahu betul alam remang-remang, prak­tek seperti di atas juga sudah terjadi di kota-kota di luar Jawa, bahkan sejak dua atau tiga tahun silam. “Cuma memang belum ada yang berani pasang ik­lan. Biasanya, iklan dari mulut ke mulut saja,” kata sang rekan.

Saya jadi teringat beberapa waktu lalu, ketika seorang teman yang baru pulang dari Darwin Australia membawa segepok surat kabar lo­kal. Pada kolom iklan baris dan iklan koloman, termuat iklan-ik­lan seperti di atas. Hanya saja mereka tampak lebih berani. Tak cuma mencantumkan nama dan nomor telepon, mereka juga memasang foto setengah badan, sekaligus tarif per jam.

Para lelaki, ada yang tampil mirip Rambo, ada juga yang me­ma­­merkan kekerempengan badannya, sedangkan para perempuan yang mengik­lankan diri rata-rata memasang foto mereka sangat atrak­tif, sensual dan hanya bisa ditandingi majalah porno. Mereka juga le­bih terbuka mengiklankan keterampilan khususnya dalam berolah ranjang.

“Anda jenuh? Teleponlah. Saya datang, dan kita bereskan se­muanya ditempat tidur,” tulis Camilla yang fotonya terpasang de­ngan buah dada menyembul mirip sepasang balon gas. Ia juga me­rinci ke­terampilan khusus apa saja yang siap diperagakan, eh di­prak­­tekannya pada pelanggan. Pembayaran? Beres. Bisa Master, Visa atau American Express!

Saya membayangkan, boleh jadi dalam beberapa tahun ke depan, ma­jalah dan surat kabar kita pun bisa saja memuat iklan seperti itu tidak lagi sembunyi-sembunyi seperti yang saya te­mukan pada surat kabar terbitan Bandung, Jakarta, dan Surabaya itu. Entahlah di kota seperti Banjarmasin. Saya berharap, jangan dululah. Ma­sih banyak cara lain yang lebih santun untuk melepas birahi di luaran, atau se­kadar untuk … selingkuh. Heheheh.

Tapi lambat laun, bukan tak mungkin fenomena seperti ini ju­ga merambah ke daerah-daerah yang masing-masing memiliki kota be­sar dan kota itu berkembang sebagaimana hukumnya sebuah ha­bitat metropol dengan berbagai gejala ikutannya, termasuk ber­ubahnya pola perilaku individu dan kelompok masyarakat peng­huninya.

Perilaku seksual, misalnya. Kini makin terbuka saja. Seorang wartawati di Bandung yang ‘iseng’ melakkan polling atas 30 perem­puan eksekutif di berbagai perusahaan di kota itu memperoleh gam­baran 18 di antaranya atau 60 persen, mengaku lebih dari se­kali ber­selingkuh sampai ke tempat tidur. Sisanya, mengaku se­sekali ber­selingkuh, dan kadang sampai bermain ranjang.

Sedangkan dari para ‘pria macho’ dan lelaki-lelaki ‘venus boy’, rekan saya wartawati, mendapat pengakuan bahwa para pelang­gannya rata-rat bersuami dan suaminya tergolong sukses dalam bis­nis maupun karir birokrat. Malah di antara ‘pria macho’ itu ada yang mengaku pernah dipertemukan dengan suami sang lang­ganan.

Pertanyaan yang kemudian timbul, harus seperti itukah pola pe­rilaku yang menyertai perkembangan kemajuan sebuah habitat hu­nian bernama metropol di Indonesia? Meski kecenderungan ke arah pola gaul dan pola hidup seperti itu sudah mulai tampak di bebe­rapa kota besar, saya yakin masih banyak orang yang akan keberatan bila perilaku seperti itu diumbar bebas, di­pamerkan secara terbuka.

Maklum, keterbukaan yang begitu deras melanda itu, bagi se­bagian bangsa kita masih diterima dan diterjemahkan setengah-se­tengah dengan berlindung di balik kedok ‘adat ketimuran’ yang ka­tanya tak mengizinkan hal-hal tertentu –yang bersifat sensitif– dibuka secara bebas.

Padahal, kalau kita lihat lagi ‘adat ketimuran’ yang kita agung-agungkan itulah yang sebenarnya lebih terbuka, jujur, dan le­bih bebas. Simak saja adat warga kita yang tinggal di tepi-tepi sungai besar. Dengan gampang kita melihat lekak-lekuk tubuh tetangga. Menerawang di balik kain basah, justru makin menrangsang imajinasi yang bukan-bukan. Laki atau perempuan sama saja. Dan kini kita teriak, hal-hal yang ter­buka seperti itu mengingkari adat ketimuran. Lho?

Bukankah nenek moyang kita baru mengenal busana secara ter­tutup justru setelah berkenalan dengan adat Barat? Bukankah ke­baya, gaun dan sebagainya merupakan serapan dari adat Barat yang selalu kita ang­gap sebagai buruk dan terlalu bebas itu? Bukan­kah adat ketimuran yang kita miliki dalam berbusana adalah cawat dan koteka. Bukankah perilaku seksual dan perkawinan yang se­karang ber­laku pun meru­pakan barang impor dari Barat, atau paling tidak dari Timur Tengah, Cina dan India?

Jadi, mengapa heran kalau kemudian sebagian di antara warga bangsa kita kembali ke habitat asalnya yang serba bebas itu? Bu­kankah sebagian kecil saudara-saudara kita masih bertahan de­ngan adat ketimurannya, pada habitat hidup yang merawat dan mem­be­sar­kannya di pedalaman Kalimantan, di Irian, bahkan di peda­laman Jawa?

Artinya, pola perilaku yang kini berkembang di sebagian masya­­rakat kota besar itu, sebenarnya sedang menuju ke arah ‘bu­daya asalnya’ yang serba terbuka, bebas, dan mudah-mudahan saja jujur, adil, dan demokratis.

Hehehe, kayak slogan pemilu saja. ***

 

Bandung, 03042000




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031