Posts Tagged ‘sakit kepala

08
Feb
08

Obat Sakit Kepala

DOKTOR Fritz Bode tentu tak pernah sedikit pun menduga bahwa nama yang dia gunakan untuk formula temuannya –ramuan farmasi untuk menanggulangi sakit kepala– bisa bermakna ganda di Indonesia. Bisa-bisa ilmuwan Jerman ini malah sakit kepala jika tahu apa yang terjadi di Indonesia.

bodrex.jpg

Bayangkan, nama yang diberikannya untuk obat sakit kepala, di sini justru jadi analogi tentang sekelompok orang yang membikin kepala sakit. Saking seriusnya sakit kepala yang ditimbulkan orang-orang macam itu, parlemen menyediakan waktu khusus untuk membahasnya.

Bodrex!

Ya. Dr Bode dan orang Jerman mana pun pasti geleng-geleng kepala ketika tahu bahwa di Indonesia, bodrex justru bisa juga berarti sebagai penghadir ‘sakit kepala’ para pejabat negara maupun pengusaha.

“Bayangkan, mereka datang berombongan dan mengancam akan mempublikasikan hal-hal buruk tentang perusahaan kami,” keluh seorang wanita pengusaha dalam sebuah diskusi mengenai etika wartawan dan kode etik jurnalistik di Balikpapan beberapa waktu lalu.

Pengalaman ibu ini pasti belum apa-apa jika dibanding seorang direktur bank di Bandung beberapa bulan silam. Ia terperangkap –lebih tepat memerangkap diri– di ruang kerjanya, sampai jauh setelah jam kerja usai. Soalnya, ada sekitar 50 ‘bodrex’ ‘bergelindingan’ persis di depan pintu di ruang kerjanya di kantornya yang megah.

“Kami terpaksa mengevakuasi Bapak lewat jendela dari kamar kecil,” kata seorang staf Humas bank itu menceritakan pengalaman bosnya dikerubuti ‘bodrex’. Celakanya, siasat itu tak membuat mereka jera. Hari berikutnya mereka –rombongan yang sama– datang lagi dan menuntut bertemu dengan si bos.

Mereka mengancam akan memperkarakan manajemen bank itu secara hukum dengan alasan tidak melayani hak publik untuk memperoleh informasi. Waw! Garangnya.

Kegarangan macam ini, rupanya ampuh untuk menggertak. Terbukti dalam beberapa kasus ada saja pejabat atau nara sumber yang dikadali gertakan seperti itu. Dan, daripada repot-repot berbasabasi melayani, mereka membuka dompetnya dan menghamburkan uang untuk menyumpal orang-orang itu.

“Kami juga heran dengan wartawan sekarang, datang tanpa diundang dan memaksa minta informasi kalau tidak dilayani mengancam akan memberitakan macam-macam,” ujar seorang manajer di Balikpapan.

Pengertian manajer ini tentang wartawan tentang ‘bodrex’ mungkin rancu. Setidaknya agak sulit baginya membedakan kedua sosok yang mestinya sangat bertolak belakang itu.

Sebenarnya para pejabat tak perlu bingung. Sebab wartawan itu –sesuai kode etikanya– adalah mahluk yang jujur. Orang jujur tidak akan sudi menjual diri dan keyakinan akan kebenaran fakta yang ditemukannya, dan menukarnya dengan segepok uang. Apalagi –masih menurut hukum profesinya– wartawan itu dilarang menerima sesuatu untuk memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu.

Memang sih, bukan hanya pejabat di daerah –bahkan para lurah dan camat– yang sering kelimpungan melayani orang-orang yang mengaku sebagai wartawan. Malah para anggota DPR RI pun sempat kalang kabut oleh orang-orang seperti itu.

Saking kerepotannya, mereka mengundang Dewan Pers dan Serikat Penerbit Suratkabar untuk meminta penjelasan, bagamaiana sih sejatinnya duduk perkara sosok beridentitas wartawan itu?

Diam-diam, rupanya banyak anggota dewan –entah di daerah– di DPR RI yang merasa terganggu oleh begitu banyak orang yang mengaku sebagai wartawan. Mereka dengan bebas berkeliaran di kantor wakil rakyat, instansi pemerintah, bahkan di kantor polisi.

Dan — ini yang bikin sakit kepala dan mengosongkan kantong- mereka segan-segan “menodong” para pejabat dengan berbagai dalih. Mulai dari ongkos transport, uang bensin, dana liputan. Ada juga yang dengan paksa menjual kalender, jam dinding, undangan seminar entah apa, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan profesional seorang jurnalis.

Dalam pertemuan antara kalangan DPR dengan jajaran Dewan Pers, Serikat Penerbit Suratkabar dan pengurus organisasi-organisasi jurnalis terungkap, bahwa serbuan bodrex itu mula-mula sih dibiasakan juga oleh sebagian di antara nara sumber.

Ada yang karena memang takut kebobrokannya terbongkar, ada pula yang sengaja ingin keterangannya dikutip dan gambarnya disiarkan, mereka memberi amplop kepada orang yang mengaku sebagai wartawan.

Dengar saja apa yang diunkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kepada para anggota dewan. Dari hasil investigasi AJI menemukan nama sejumlah anggota pejabat (termasuk anggota DPR) yang suka mebagi-bagikan uang kepada wartawan.

Kalau perlu, katanya, dalam waktu dekat nama-nama ini akan diumumkan secara terbuka kepada publik ini sekaligus sebagai bagian dari program untuk memberantas praktek “sogok” terhadap wartawan. “Segera umumkan. Itu lebih baik, buka saja kepada umum anggota mana saja yang sering membagi-bagikan amplop,” seru anggota DPR H Abdul Kadir Djaelani.

Boleh jadi, apa yang terungkap di gedung DPR di Jakarta itu dijadikan pegangan bagi siapa pun di daerah ketika berhadapan dengan para wartawan dan orang yang mengaku sebagai wartawan. Perlu ada keberanian kedua belah pihak untuk sama-sama menciptakan masyarakat yang brersih dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tak perlu ragu berhadapan dengan wartawan, karena mereka adalah manusia biasa juga. Yang mereka butuhkan adalah keterbukaan dan akses informasi untuk menjelaskan suatu masalah yang patut diketahui publik. Memang, seperti kata seorang rekan di Balikpapan, saat ini setiap orang bisa dengan mudah mengklaim diri sebagai wartawan.

Bahwa mereka datang tanpa diundang, dan meminta informasi, itulah tugas profesinya. Nara sumber punya hak untuk menolak atau menerima mereka. Tapi jika ada ‘wartawan’ yang datang dan memaksa, apalagi sampai mengancam, ya ditolak saja. Kalau perlu, gusur saja ke kantor polisi. Beres.

* Bandung, 250302




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031