Posts Tagged ‘wartawan

08
Feb
08

Amplop

DERING telepon menyentak. Tengah malam baru saja lewat. Suara perempuan, kelu, terdengar di seberang, “Kaget, ya. Saya lagi mabuk. Hihihi. Terlalu banyak minum Chivas. Sialan. Kami sama-sama teler berat. Dia keburu lunglai. Ngorok tuh, di sofa,” katanya. Lalu terkekeh lagi. Agak terengah.

amplopgrey.jpg

Dia adalah Nadya –sebut sajalah namanya begitu– satu di antara sekian banyak orang yang semula coba-coba jadi wartawan, namun kemudian banting stir.

Hanya bertahan dua tahun sebagai wartawan, ia kemudian memutuskan ganti profesi setelah bibirnya robek dan giginya rompal. Sepeda motornya mencium pohon, dan ia terlontar, mukanya menyodok tunggul pohon di tepi hutan. Saat itu ia baru tiga bulan jadi wartawan dan ditempatkan di sebuah daerah di Sumatera.

Sejak itulah ia putus hubungan dengan dunia pers. “Terlalu berat. Saya tak cocok jadi wartawan,” kata sarjana fisika ini saat mengajukan pengunduran diri. Dan, tengah malam itu, ia menelpon dari kamar hotelnya di kawasan lampu merah Patpong, Bangkok. Entah dari mana ia memperoleh nomor telepon mess tempat saya tinggal di Kupang.

“Kan, saya bekas wartawan,” katanya kembali terkikik ketika saya tanya dari mana dia tahu nomor telepon saya. Dan, ia pun berceloteh tentang aneka pekerjaan yang sudah dicobanya –termasuk menjual asuransi– dan mengaku enjoy dengan kehidupannya kini. Ia menelepon di tengah liburan bersama rekan kumpul kebonya, seorang bule yang ditemukan (atau menemukan)-nya di Jakarta.

Saya langsung teringat sepucuk amplop yang sebulan sebelumnya tergeletak di celah di bawah pintu. Dikirim dari sebuah kecamatan di Kabupaten Sengkang. Surat itu dari –juga– ‘bekas’ wartawan yang kami rekrut di Bandung di akhir 1989, setahun kemudian keluar dan berdinas sebagai pegawai negeri pedalaman Sulawesi.

“Saya sudah berani pegang kebo dan menyuntiknya,” tulis dokter hewan yang pernah kesasar jadi wartawati, dan pernah menangis sesenggukan ketika pulang meliput lokalisasi pelacuran itu. Seperti Nadya, rekan satu ini juga merasa jurnalistik bukanlah dunianya.

Banyak orang yang ‘kesasar’ dan kemudian kepalang tanggung hidup di dunia pers, sebab memang pers termasuk wadah yang sangat terbuka menampung orang dengan aneka disiplin.

Banyak pula yang semula menganggap pers sebagai bidang kerja paling cocok, ternyata memutuskan sebaliknya. Karena ternyata menjadi wartawan yang profesional bukan saja sulit, tapi lingkungan industri bisnis persnya pun tampak tak terlalu siap.

Kini, ketika era keterbukaan terkuak lebar, bahkan setiap orang bisa jadi wartawan. Orang tanpa pengetahuan dan pengalaman jurnalistik pun malah bisa mendadak jadi pemimin redaksi. Padahal, menurut pengalaman saya sekitar 10 tahun terlibat dalam rekrutmen wartawan, mencari wartawan itu susah betul.

Jurnalis adalah profesi terbuka tapi tak semua orang bisa layak memikul tanggungjawab berkarya di dalamnya. Di beberapa tempat, kami bahkan terpaksa menurunkan kualifikasi dan bobot seleksi dan pelatihan, karena sulitnya mencari sumber daya manusia. Pelamar memang bejibun, tapi yang memenuhi kualifikasi standar, amatlah sedikit.

Pada kesempatan lain, pernah kami (saya dan tim) menguji lebih dari 200 pelamar (dari 400-an yang lolos seleksi awal), dan hanya menghasilkan 11 dari 15 yang dibutuhkan. Itu pun, yang bertahan hingga kini –empat tahun kemudian– hanya tinggal tujuh orang saja. Tapi, jumlah wartawan toh terus bertambah. Demikian pula jumlah penerbitannya. Begitu pula jumlah organisasi persnya.

Boleh jadi, hari pers kini ‘dirayakan’ oleh lebih banyak lagi insan pers dan oleh lebih dari 40 organisasi wartawan, setelah puluhan tahun didominasi satu-satunya organisasi wartawan yang telanjur pernah membiarkan diri dikooptasi penguasa. Bahkan, di beberapa daerah ada pengurusnya yang merasa dan bertingkah tak jauh berbeda dengan birokrat pemerintah.

Kini, jumlah wartawan pasti jauh lebih banyak lagi dengan banjirnya media. Pernah, seorang teman yang baru pulang dari Jakarta menyodorkan satu eksemplar Borneo, tabloid dari Kalteng yang dicetak di ibu kota dan saya mendapatkannya di Bandung.

Di Banjarmasin pun, muncul surat kabar baru, yakni Metro Banjar, BëBAS, Serambi Ummah dan Kalimantan Pos, di samping Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Indonesia Merdeka, Gawi Manuntung, Gaung dan Wanyi, Mata Banua dan lain-lain, meski kehilangan Dinamika Berita.

Saya juga sempat kaget. Di tempat kelahiran saya di Jawa Barat, dulu cuma ada Bandung Pos, Gala, Mandala dan Pikiran Rakyat serta mingguan berbahasa Sunda Giwangkara (matahari) dan majalah Mangle (untaian kembang, ronce). Lalu ada satu dua tabloid eksklusif.

Sejak keran kebebasan pers dibuka, marak pula penerbitan surat kabar. Simak, yang berbentuk tabloid saja misalnya. Ada Deru, Deras, CAS, Forum Bandung, Fokus Bandung, Debat, Detail Pos, XPose, BOM, Ka’Bah, Zakaria, Hikmah, Mitra Bisnis, Cianjur Pos, Sukabumi Pos, radar Sukabumi, Bogor Pos, Radar Bogor, Puncak Pos, Gerage Pos, Cerbon Pos, Radar Cirebon, Mitra Dialog, dan majalah Mangle.

Sedangkan yang berbentuk surat kabar biasa, ada Suara Baru, Suara Publik, Galamedia, Bandung Pos, Pikiran Rakyat, Priangan Pos, Giwangkara (Sunda Post), Radar Bandung, Metro Bandung yang kemudian berubah jadi Tribun Jabar dan entah apa lagi.

Sementara di kawasan Banten –yang berhasil “memerdekakan diri” dari Jawa barat– ada Media Rakyat, Mingguan Pelopor, Banten Ekspres, Gema Banten, Banten Raya dan Banten Pos dan Fajar Banten serta Radar Banten.

Luar biasa. Di tengah serbuan koran, tabloid, dan majalah dari ibu kota, orang-orang di daerah dengan gairah besar membangun medianya sendiri. Mencoba peruntungan, atau memang didasari perhitungan bisnis yang matang, tak jadi soal.

Yang jelas, masyarakat makin diuntungkan sebab memperoleh kian banyak kesempatan memilih bacaan yang sesuai bagi dirinya dan bisa memperkaya gizi intelektualitasnya. Bersamaan dengan itu, berlangsung pula persaingan bebas –mudah-mudahan sehat– yang pada akhirnya menghasilkan media yang betul-betul cocok dengan kebutuhan rakyat.

Memang, ada di antara koran-koran dan tabloid baru itu yang masih bertahan hingga kini, tapi tak kurang pula cuma beberapa edisi, lalu tak pernah nongol lagi. Malah di Bandung ada harian yang cuma sempat terbit empat kali, setelah itu wes ewes ewes, bablas!

Ya, korannya boleh amblas, tapi wartawan –sebagai profesi yang bebas– mestinya tetap mengada dan bisa tetap berkarya untuk membuat bangsanya semakin cerdas, melalui kiprahnya sebagai freelancer.

Namun hal ini tak mudah dilakukan, sebab penghargaan para penerbit terhadap wartawan bebas (freelance) –eh jangankan wartawan freelance, yang organik pun– kadang jauh dari kelayakan.

Bahkan ada penerbit –pasti bukan di Banjarmasin– yang cuma ‘menggaji’ wartawannya dengan secarik kartu pers, dan membiarkan –kalaupun tidak menyuruh– sang wartawan mencari sendiri gajinya (kalau perlu, setor pula) dengan caranya sendiri.

Malah ada juga ‘organisasi jurnalis’ hanya sibuk tiap menjelang hari pers. Mereka ke sana ke mari menjajakan proposal hari pers, dan terus terang mengemis sumbangan. Hal yang mestinya tak mungkin terjadi di tatar Banjar ini.

Lepas dari itu semua, saya secara pribadi gembira melihat pesatnya pertumbuhan pers saat ini yang begitu cepat dan deras. Bayangkan, di Bandung, ada sebuah sebuah tabloid berita serius yang diterbitkan untuk lingkup masyarakat sebuah kecamtan.

Di Banjarmasin sendiri, tumbuh sekurang-kurangnya enam surat kabar baru. Bahkan Timika di Papua yang sunyi dan terpencil pun sebentar lagi akan disemarakkan dua surat kabar.

Makin banyak media massa diterbitkan dan didirikan, kian besar pula peluang banyak orang untuk memasuki dunia pers dan makin mempertinggi dinamika kita dalam berdemokrasi. Masyarakat yang demokratis ditandai oleh persnya yang tumbuh dan berkembang sehat karena menjadi bagian dari interaksi masyarakat itu.

Kian banyak koran, tabloid, majalah, radio dan televisi tumbuh, makin terbuka luas pula kesempatan masyarakat kita berkarya di dunia jurnalistik dan berbagai bidang kerja yang terkait dengannya. Namun, tak setiap orang yang bisa tahan dalam perjuangan menegakkan idealisme kemerdekaan berpendapat ini.

“Meski semangat saya besar untuk jadi wartawan, ternyata saya tak tahan,” begitu kata penutup pada surat yang ditulis rekan saya yang kini lebih memilih profesi mengurusi kesehatan hewan itu. Ya, apa boleh buat. Surat itu pun saya lipat lagi dan saya sisipkan ke dala amplop asalnya yang kumal.

Rupanya, di pedalaman tempat dia berdinas, cari amplop saja susah. **

Bandung, 08022000

08
Feb
08

Udin

HARI sudah condong ke sore. Rekan-rekan sudah mulai bangkit dari kursinya menuju ruang rapat. Mas Agoes, redaktur pada surat kabar tempat kami bekerja, masih tampak suntuk.

udinfuad.jpg

Berulang-ulang ia meneliti kembali lembaran kertas stensil di atas mejanya. Lalu tangannya kembali menari-nari di atas papan kunci. Tapi cuma sejenak. Mandeg lagi. Kembali ke kertas stensil –berita kiriman dari koresponden di daerah. “Sialan!” katanya.

“Dari NHW?” saya bertanya sambil berdiri siap ke ruang rapat untuk budgetting — rapat penetapan berita-berita apa saja yang didapat hingga sore itu yang dianggap layak dinaikkan.

NWH adalah inisial salah seorang koresponden, yang –waktu itu– tulisan berita-beritanya agak merepotkan. Struktur kalimatnya nggak beres. Logikanya melompat-lompat. Susunannya tidak runut.

“Bukan. Udin, Bantul” ia berkata sambil mengibarkan lembaran kertas stensil itu ke muka saya. “Ini berita bagus, Kang. Fakta-faktanya kuat, tapi ada beberapa hal yang bagi saya masih kurang jelas. Kalau ditunda. Nanti didahului koran lain. Kalau diturunkan, juga bisa bermasalah,” katanya sambil menjelaskan beberapa hal yang menurutnya kurang.

Udin yang dimaksudkannya, adalah Fuad M Syafruddin. Wartawan Bernas yang menempati pos liputan di Kabupaten Bantul. Entah apa yang menyebabkannya hampir tak pernah mau masuk ke ruang redaksi.

Udin selalu menitipkan berita-berita yang dibuatnya itu di pos satpam. Petugas satpamlah yang kemudian mengirim amplop berisi berita itu –bersama surat-surat lain– ke meja redaksi.

Sampai hari itu, sekitar sebulan kami memulai penerbitan Bernas dalam format baru, saya sendiri tak pernah bertemu muka dengan Udin. Mas Agoes juga. Kalau wartawan lain yang bertugas di sekitar Yogya –Sleman, Bantul, Kulonprogo– sesekali masuk ke ruang redaksi, maka Udin bisa dikatakan sangat jarang.

Ya, itu tadi. Ia ‘bergerilya’ di lapangan, menuliskan beritanya di rumah, lantas mengantarkan ke kantor, dengan cara menitipkannya di pos satpam. Maka di pos satpam itu pula Mas Agoes menitipkan secarik pesan agar Udin menemui kami dahulu seterima pesan itu.

Keesokan harinya Udin datang. Begitu bertemu, saya langsung terkesan. Badannya tinggi besar mirip pemain basket. Tegap mirip petinju, wajahnya dihiasi brewok yang merimba. Tapi, matanya begitu teduh dan lembut. Kelopaknya nyaris sesayu pelupuk mata orang mengantuk. Sekali saja matanya ditutup kacamata hitam, orang akan menangkap kesan sangar dari penampilannya.

Itulah udin. Tutur katanya justru sangat lembut dan bersahaja. Ia bicara Jawa dalam kromo inggil kepada Mas Agoes yang kemudian menerjemahkan satu dua patah katanya untuk saya. Ternyata, dia memendam semacam perasaan agak segan sehingga raguragu menginjak kantor redaksi.

Dalam bayangannya, ruang redaksi manajemen baru itu penuh para sarjana, para intelektual. Ia agak sungkan. Lagi pula, ia hanya berpegang pada komitmennya, bahwa tugas seorang wartawan itu mencari dan menuliskan berita, mengirimnya ke redaksi. Selanjutnya, terserah redaksi.

Untuk hal kedua, benarlah adanya. Tapi untuk hal pertama, kami jelaskan, bahwa sebagai kerabat kerja surat kabar, mau tak mau ia merupakan bagian tak terpisahkan dari team work yang satu sama lain saling terkait.

Kehadirannya di ruang redaksi, berdiskusi dengan rekan-rekan sekantor, akan sangat membantu dalam proses saling memperkaya wawasan. Pada kesempatan seperti itulah, kita saling memngisi kekosongan, saling menambal kekurangan, dan saling membagi kelebihan masing-masing.

Nah, sejak itu ia mulai sering masuk ke ruang redaksi, bahkan kerapkali betah berlama-lama, berdiskusi, bercanda, atau sekadar mencari tahu apa yang ingin diketahuinya dari rekan sekerja.

Itu saat-saat awal tahun 1990.

Kini, Udin sudah lama tiada. Tanggal 16 Agustus 1996 ia meninggalkan kami. Pergi dengan cara sangat tidak enak, dianiaya seseorang –entah sekomplotan orang– hingga tak pernah siuman lagi sampai tiga hari kemudian menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, seratus meter sebelah timur kantor kami.

Ya, maut menjemputnya lewat tangan seorang lelaki yang datang malam hari, mengetuk pintu rumah kontrakan Udin –yang sekaligus dijadikannya kios cuci-cetak foto– berpura-pura meminjam kunci pas untuk sepeda motornya yang mogok.

Ketika dengan keramahannya yang khas Udin muncul membuka pintu, saat itu pula sebatang besi dengan lengkungan di ujung –diketahui dari bentuk luka– menghantam kepalanya. Udin roboh berkuah darah.

“Kang! Kami kena musibah. Udin dianiaya orang, saya yang mengantarnya ke rumah sakit, tadi malam,” kata Mas Agoes lewat telepon. Hari itu tanggal 14 Agustus 1996. Saya sedang mengemasi barang di mess perusahan kami di Kupang ketika menerima kabar ini.

Dua hari sebelumnya, saya menerima tugas untuk kembali bergabung dengan rekan-rekan di Bernas, Yogya. Dan, saya sedang duduk di depan televisi di kediaman kami di Bandung, 16 Agustus tahun yang sama, ketika berita itu disiarkan: Udin telah pergi.

dwigrey.jpg

Siapa raja-tega yang menghabisinya? Polisi –yang sempat merekayasa kasus ini dengan menceburkan Dwi Sumaji (Iwik), seorang sopir perusahaan advertising sebagai tersangka lalu terdakwa, dan ternyata patah di pengadilan– tampaknya tak bisa lagi berkutik.

Sampai hari-hari ini, belum ada kabar lanjut mengenai upaya penyidikan yang mereka lakukan meski sudah jelas-jelas satu di antara anggotanya terlibat dalam proses rekayasa membelokkan kasus ini.

Gelap!

Ya, gelap. Itu pula yang kami diskusikan dengan rekan-rekan dari Serambi Indonesia ketika mereka singgah ke kantor kami di Bandung setelah sehari sebelumnya menerima Anugerah Udin (Udin Award) yang diberikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Jakarta.

Anugerah Udin diberikan kepada jurnalis/kelompok jurnalis yang jadi korban kekerasan karena komitmen dan konsistensinya dalam menegakkan kebebasan pers demi kebenaran dan keadilan.

Serambi Indonesia jadi korban tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka) maupun oleh aparat kepolisian dan TNI. Posisi yang independen di tengah pertikaian itu, membuat Serambi serba salah.

Berpihak atau lebih condong kepada TNI/Polri/pemerintah, akan membuat saudara-saudara kita di GAM marah. Sebaliknya, berpihak atau lebih condong pada GAM, tentu akan dianggap sebagai provokator dan dianggap lawan oleh TNI/Polri/pemerintah.

Posisi independen –selalu berusaha simbang dalam pemberitaan mengenai hal itu– juga tetap tak menguntungkan, sebab dianggap musuh oleh kedua belah pihak yang bertikai.

Udin telah lama pergi. Kematiannya adalah simbol kekerasan terhadap insan pers saat melaksanakan tugas jurnalistik. Ia tewas karena komitmennya pada fakta. Dia menemukan fakta-fakta telanjang tentang bagaimana penguasa lokal mengidentikkan diri sebagai kader terbaik Golkar yang –kalau perlu memenangkan pemilu 200 persen, dengan cara apa pun.

Dia menemukan fakta –tertulis, berupa surat pernyataan– bahwa pemilihan bupati di daerah itu kental oleh money politics, karena sang bupati dikenai pungutan Rp 1 Miliar untuk mengisi kas yayasan yang dibentuk Soeharto.

Udin pula yang menemukan fakta bagaimana keluarga cendana begitu rakus hendak menguasai satu wilayah (di Bantul) meski areal itu jelas mengandung kekayaan untuk ilmu pengetahuan.

Rezim Soeharto memang telah tumbang. Tapi rezim berikut, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan rezim SBY, tampaknya terlu sibuk dengan diri masing-masing. Para politisinya pun tak kalah seru baku rebut pengaruh, posisi, dan publisitas.

Entah kapan mereka kan menoleh pada kepentingan keluara Udin, keluarga orang-orang hilang, keluarga para mahasiswa yang tewas ditembaki saat menyuarakan aspirasi rakyat, ribuan keluarga lain yang kehilangan anggotanya oleh sebab yang tak jelas di Aceh, Lampung, Serang, Singkawang, Sambas, Banjarmasin, Situbondo, Poso, Ambon, Papua dan masih banyak lagi.

Gelap.

Ya, semua masih gelap.***

Bandung, 16 Agustus 2000

08
Feb
08

Obat Sakit Kepala

DOKTOR Fritz Bode tentu tak pernah sedikit pun menduga bahwa nama yang dia gunakan untuk formula temuannya –ramuan farmasi untuk menanggulangi sakit kepala– bisa bermakna ganda di Indonesia. Bisa-bisa ilmuwan Jerman ini malah sakit kepala jika tahu apa yang terjadi di Indonesia.

bodrex.jpg

Bayangkan, nama yang diberikannya untuk obat sakit kepala, di sini justru jadi analogi tentang sekelompok orang yang membikin kepala sakit. Saking seriusnya sakit kepala yang ditimbulkan orang-orang macam itu, parlemen menyediakan waktu khusus untuk membahasnya.

Bodrex!

Ya. Dr Bode dan orang Jerman mana pun pasti geleng-geleng kepala ketika tahu bahwa di Indonesia, bodrex justru bisa juga berarti sebagai penghadir ‘sakit kepala’ para pejabat negara maupun pengusaha.

“Bayangkan, mereka datang berombongan dan mengancam akan mempublikasikan hal-hal buruk tentang perusahaan kami,” keluh seorang wanita pengusaha dalam sebuah diskusi mengenai etika wartawan dan kode etik jurnalistik di Balikpapan beberapa waktu lalu.

Pengalaman ibu ini pasti belum apa-apa jika dibanding seorang direktur bank di Bandung beberapa bulan silam. Ia terperangkap –lebih tepat memerangkap diri– di ruang kerjanya, sampai jauh setelah jam kerja usai. Soalnya, ada sekitar 50 ‘bodrex’ ‘bergelindingan’ persis di depan pintu di ruang kerjanya di kantornya yang megah.

“Kami terpaksa mengevakuasi Bapak lewat jendela dari kamar kecil,” kata seorang staf Humas bank itu menceritakan pengalaman bosnya dikerubuti ‘bodrex’. Celakanya, siasat itu tak membuat mereka jera. Hari berikutnya mereka –rombongan yang sama– datang lagi dan menuntut bertemu dengan si bos.

Mereka mengancam akan memperkarakan manajemen bank itu secara hukum dengan alasan tidak melayani hak publik untuk memperoleh informasi. Waw! Garangnya.

Kegarangan macam ini, rupanya ampuh untuk menggertak. Terbukti dalam beberapa kasus ada saja pejabat atau nara sumber yang dikadali gertakan seperti itu. Dan, daripada repot-repot berbasabasi melayani, mereka membuka dompetnya dan menghamburkan uang untuk menyumpal orang-orang itu.

“Kami juga heran dengan wartawan sekarang, datang tanpa diundang dan memaksa minta informasi kalau tidak dilayani mengancam akan memberitakan macam-macam,” ujar seorang manajer di Balikpapan.

Pengertian manajer ini tentang wartawan tentang ‘bodrex’ mungkin rancu. Setidaknya agak sulit baginya membedakan kedua sosok yang mestinya sangat bertolak belakang itu.

Sebenarnya para pejabat tak perlu bingung. Sebab wartawan itu –sesuai kode etikanya– adalah mahluk yang jujur. Orang jujur tidak akan sudi menjual diri dan keyakinan akan kebenaran fakta yang ditemukannya, dan menukarnya dengan segepok uang. Apalagi –masih menurut hukum profesinya– wartawan itu dilarang menerima sesuatu untuk memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu.

Memang sih, bukan hanya pejabat di daerah –bahkan para lurah dan camat– yang sering kelimpungan melayani orang-orang yang mengaku sebagai wartawan. Malah para anggota DPR RI pun sempat kalang kabut oleh orang-orang seperti itu.

Saking kerepotannya, mereka mengundang Dewan Pers dan Serikat Penerbit Suratkabar untuk meminta penjelasan, bagamaiana sih sejatinnya duduk perkara sosok beridentitas wartawan itu?

Diam-diam, rupanya banyak anggota dewan –entah di daerah– di DPR RI yang merasa terganggu oleh begitu banyak orang yang mengaku sebagai wartawan. Mereka dengan bebas berkeliaran di kantor wakil rakyat, instansi pemerintah, bahkan di kantor polisi.

Dan — ini yang bikin sakit kepala dan mengosongkan kantong- mereka segan-segan “menodong” para pejabat dengan berbagai dalih. Mulai dari ongkos transport, uang bensin, dana liputan. Ada juga yang dengan paksa menjual kalender, jam dinding, undangan seminar entah apa, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan profesional seorang jurnalis.

Dalam pertemuan antara kalangan DPR dengan jajaran Dewan Pers, Serikat Penerbit Suratkabar dan pengurus organisasi-organisasi jurnalis terungkap, bahwa serbuan bodrex itu mula-mula sih dibiasakan juga oleh sebagian di antara nara sumber.

Ada yang karena memang takut kebobrokannya terbongkar, ada pula yang sengaja ingin keterangannya dikutip dan gambarnya disiarkan, mereka memberi amplop kepada orang yang mengaku sebagai wartawan.

Dengar saja apa yang diunkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kepada para anggota dewan. Dari hasil investigasi AJI menemukan nama sejumlah anggota pejabat (termasuk anggota DPR) yang suka mebagi-bagikan uang kepada wartawan.

Kalau perlu, katanya, dalam waktu dekat nama-nama ini akan diumumkan secara terbuka kepada publik ini sekaligus sebagai bagian dari program untuk memberantas praktek “sogok” terhadap wartawan. “Segera umumkan. Itu lebih baik, buka saja kepada umum anggota mana saja yang sering membagi-bagikan amplop,” seru anggota DPR H Abdul Kadir Djaelani.

Boleh jadi, apa yang terungkap di gedung DPR di Jakarta itu dijadikan pegangan bagi siapa pun di daerah ketika berhadapan dengan para wartawan dan orang yang mengaku sebagai wartawan. Perlu ada keberanian kedua belah pihak untuk sama-sama menciptakan masyarakat yang brersih dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tak perlu ragu berhadapan dengan wartawan, karena mereka adalah manusia biasa juga. Yang mereka butuhkan adalah keterbukaan dan akses informasi untuk menjelaskan suatu masalah yang patut diketahui publik. Memang, seperti kata seorang rekan di Balikpapan, saat ini setiap orang bisa dengan mudah mengklaim diri sebagai wartawan.

Bahwa mereka datang tanpa diundang, dan meminta informasi, itulah tugas profesinya. Nara sumber punya hak untuk menolak atau menerima mereka. Tapi jika ada ‘wartawan’ yang datang dan memaksa, apalagi sampai mengancam, ya ditolak saja. Kalau perlu, gusur saja ke kantor polisi. Beres.

* Bandung, 250302

08
Feb
08

Harga Daging

“MAS, telepon dari London,” operator megabari saya, sekaligus menyambungkan pesawat saya dengan telepon yang masuk. Ternyata dari bagian adiministrasi BBC, radio Inggris yang terkenal itu.

daging.jpg

Dengan Bahasa Indonesia tanpa cela ia menanyakan alamat lengkap saya karena dia perlu untuk mengirimkan cek. Cek? Ya. Malam sebelumnya saya ditelepon penyiar BBC Seksi Indonesia yang menanyakan situasi yang saya rasakan dan saya amati di kota tempat saya tinggal, Palembang.

Waktu itu –tahun 1994– ketika hutan-hutan di Tanah Andalas terbakar dan asapnya mengganggu negara-negara tetangga. Kata penyiar itu ‘wawancaranya’ direkam untuk disiarkan beberapa menit kemudian. Saya oke saja.

“Wawancara” itu singkat sekali, paling tiga sampai empat menit. Wong sekadar menanyakan bagaimana suasana dan situasi kota. Jadi, sama sekali tak terpikir bahwa percakapan singkat itu akan berbuntut cek.

Itu pula yang saya kemukakan kepada petugas administrasi BBC tersebut. Untuk memberi informasi singkat begitu saja, sungguh saya tak menunut honor.

“Memang, Anda tak menuntut. Tapi, ini hak Anda. Anda telah mengisi program kami selama tiga menit 33 detik atas permintaan kami, dan itu berarti menyita waktu Anda. Untuk itu Anda mendapat tiga Pundsterling per menit. Ceknya kami kirim hari ini juga,” katanya ngotot.

Lho, ngasih uang kok ngotot.

Saya cuma ternganga. Ya, gembira juga sih, tiba-tiba dapat rezeki. Dari segi jumlah memang mungkin tak seberapa (waktu itu, Dolar AS masih Rp 2.500, dan Poundsterling sekitar Rp 10.300), tapi penghargaan yang mereka tunjukkan melebihi nilai uang.

Saya tak pernah membayangkan begitu besarnya perhatian produser acara macam itu, dan begitu besarnya penghargaan mereka atas waktu yang dikorbakan oleh orang lain untuk kepentingannya. Belum lagi menguber alamat lewat saluran internasional itu. Nilai pulsanya saja, bisa-bisa jauh lebih mahal dari nilai honor yang diberikannya.

Padahal setiap hari siarannya mereka tak mewawancari satu orang saja, sebab siaran berita mereka terus mengalir tanpa putus dalam berbagai bahasa dan dipancarkan ke berbagai negara.

Berapa ribu poundsterling mereka keluarkan saban hari hanya untuk aneka ‘wawancara’ kecil macam itu. Berapa tenaga dikerahkan untuk mengurusi administrasi dan mengirimi cek ke berbagai orang di ‘antahberantah’. Persoalannya, mereka tidak mau melalaikan, menyepelekan, apalagi tak mengindahkan hak orang. Ya, hak.

Saya betul-betul merasa tersanjung, dihormati, dihargai dan kagum atas sikap profesional mereka. Perasaan seperti ini jelas sangat tak ternilai harganya, tak bisa dibanding dengan honor 10 Pundsterling lebih sedikit yang saya terima tiga minggu kemudian dalam bentuk cek dari The British Bank.

Itulah untuk pertama -dan hingga kini belum pernah lagi– saya menerima cek dari bank luar negeri.

Cerita inilah yang saya obrolkan dengan seorang cendekiawan yang juga kolumnis kondang di Bandung beberapa waktu lalu. Mulanya, kami ngobrol soal rubrik opini yang memang tidak ada pada surat kabar yang saya –dan kawan-kawan– kelola di Bandung.

Lalu obrolan melebar pada soal penghargaan pengelola media terhadap sumber-sumber berita, terhadap para penulis, para kontributor dan semacamnya.

“Kita tampaknya belum bisa menghargai jerih payah, pikiran dan gagasan orang. Padahal, orang bisa beropini, bisa menulis itu tentu setelah banyak belajar, banyak membaca, melakukan pengendapan, peremenungan,” ujarnya seraya menguraikan bahwa aktivitas macam itu merupakan proses yang tidak sederhana.

“Berapa duit dia habiskan untuk sekolah, untuk beli buku. Berapa lama waktu dihabiskan membacainya. Berapa lama pula dia habiskan duduk menulis, menuangkan gagasan-gagsannya,” tambahnya.

Dia juga menunjuk contoh bahwa masih saja ada media yang menurutnya tidak beradab karena tidak membayar penulis dan kontributornya. Bahkan tidak membayar secara layak karyawannya.

“Jangankan membayar sumber berita, malah ada wartawan yang justru meminta dibayar oleh sumber berita,” ujarnya terkekeh. Tapi saya bilang, yang bertindak macam itu pasti bukan wartawan sungguhan. Paling-paling tukang peras yang menggunakan dan berlindung di balik profesi wartawan.

“Di negara-negara maju, adalah biasa jika sumber berita menuntut imbalan, dan kalangan media sendiri sudah menyadari bahwa karena berita dari sumber itulah koran atau televisinya diperhatikan orang.”

Memang, tapi ini Indonesia, bukan negara maju seperti yang dilukiskannya. Saya sendiri pernah sempat terkejut ketika seorang pakar lingkungan dari Amerika menyodorkan tarif –dalam dolar– saat hendak diwawancara, usai sebuah seminar beberapa tahun lalu.

Memang akhirnya wawancara batal, pendapat-pendapatnya yang saya kutip ya sebatas yang terlontar pada seminar. Satu dua tokoh di dalam negeri, juga sudah mulai menarif dirinya untuk wawancara. Misalnya pengarang terkenal, NH Dini.

“Pakar dan cendekiawan di negeri kita masih kalah ‘harganya’ oleh foto model dan bintang film. Untuk satu sesi pemoretan, sekali lenggang-lenggok, mereka dibayar tinggi.
Kita baru bisa menghargai keindahan dan kemolekan tubuh, belum bisa menghargai pikiran, gagasan, dan pendapat orang,” katanya.

Karena itu pula, saya bilang, surat kabar kami belum membuka rubrik opini, sebab kami khawatir belum mampu menghargai para penulis dengan layak dan patut.
Boleh jadi, pembaca saat ini umumnya lebih menykai uraian-uraian yang ringkas, langsung, sederhana dan to the point, karena begitu beragamnya informasi yang membanjiri mereka lewat berbagai media komunikasi.

Selain itu, mungkin juga karena kita baru sampai pada tahap lebih menghargai gumpalan-gumpalan daging, ketimbang percikan-percikan pikiran dan gagasan yang terlontar dari gumpalan otak seseorang.

Itu sebabnya, surat kabar dan majalah yang kerap menampilkan keindahan tubuh dan uraian-uraian di seputar itu –di samping ‘darah’ dan konflik– selalu jauh lebih digemari, dan karena itu lebih laku, dari pada media (apalagi jurnal) yang lebih banyak menyajikan buah pikiran, gagasan, atau bahkan dogma-dogma.

Kita memang tak bisa memaksa orang untuk memberi penghargaan pada apa yang menurut kita patut dihargai. Kalau kita sendiri masih lebih suka mengikuti kemauan daging ketimbang otak, maka itu pula yang akan lebih dahulu dihargai.

Saya sendiri hakkul yakin, pembaca media mana pun lebih dahulu akan melumat karunia Tuhan lewat keindahan sosok-sosok pada cover dan halaman belakang tabloid ini, ketimbang sajian-sajian lainnya, apalagi yang bikin dahi berkerut. ***

Bandung, 150101

08
Feb
08

Hasil Dagang Sapi

“SAPI saya sudah banyak. Ya, duapuluhan lah. Lumayan, tempo hari sudah pula dipercaya BRI dan mungkin kredit saya cair,” kata Mat Amin.

sapii.jpg

Wah, pikir saya, ternyata wartawan bisa juga alih profesi jadi bandar sapi. Entah karena memang ia berbakat bisnis, entah karena frustrasi jadi jurnalis dan banting stir ke bidang yang nyaris tak ada hubungannya dengan berita.

Dia adalah fotografer sekaligus salah satu penulis handal pada surat kabar yang kami kelola di Palembang. Daya kerjanya luar biasa, sehingga nyaris tak kenal lelah. Loyalitas dan integritasnya pada profesi, luar biasa tinggi.

Karenanya, ia sangat kecewa ketika tangan-tangan politik penguasa berhasil mengobok-obok koran itu dari dalam, hingga di antara para pengelola berantem. Koran itu mati suri satu setengah tahun lebih! Nah, pada saat itulah ia banting stir.

“Percuma, Kang. Kalau pun koran kita bangkit lagi nanti, saya pesimpistis kita bisa bekerja secara perofesional dan jernih. Iklim politik di luar kita, entah kapan akan berubah berpihak pada rakyat banyak,” katanya saat ia mengutarakan maksudnya untuk surut di mundur dari dunia kewartawanan.

Karena itu, kata dia, lebih baik pulang kampung dan hidup di tengah realitas yang sesungguhnya. Dua tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan dia, ya sudah merasa enjoy sebagai peternak sekaligus pedagang sapi itu, di kampungnya di Metro, Lampung Tengah sana.

Belakangan, saya dengar dia dicalonkan jadi kepala desa, namun saya belum dengar lagi kabar darinya. Tapi, melihat ketekunan dan totalitasnya kepada pekerjaan saat ia bekerja sebagai fotografer, saya yakin ia pun akan total menjalani profesi barunya.

“Tapi dunia kewartawanan itu tak bisa ditinggalkan, bahkan bagi mereka yang sudah pensiun. Lihat saja Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, bukankah mereka masih tetap berdarah-daging wartawan,” kata seorang rekan, mantan anggota DPRD di Nusa Tenggara Timur yang kembali ke profesi jurnalisnya setelah ia terjuni dunia politik.

Dahulu, sebelum dia jadi pengurus partai, dia adalah wartawan. Dan –kebalikan dari rekan saya Mat Amin– sebelum jadi wartawan, dia adalah saudagar sapi. Justru karena menggiring sapi dari satu sabana ke sabana lain di pulau karang itu, rekan saya ini belajar banyak hal tentang kehidupan rakyat di daerah-daerah yang dikunjunginya dan persoalan-persoalan itu mengganggu hati nuraninya.

Betapa, kata dia, sangat terasa senjangnya dan kesangattidakmerataannya pembangunan yang –konon– digembar-gembor untuk rakyat itu. Ia tergugah. Ia belajar dengan keras, dan akhirnya ia memutuskan profesi wartawan sebagai pilihan hidup.

Dengan profesinya itu ia berkibar sebagai jurnalis independen yang disegani di kawasan tersebut. Birokrat dan kaum politisi segan dan hormat terhadap integritasnya, terutama karena ia sangat kritis terhadap perilaku orang-orang yang mengatasnamakan rakyat tapi berjuang untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Orang-orang yang kata-katanya selalu beda dengan perilakunya.

“Dan celakanya, dunia politik kita dipenuhi orang-orang macam itu,” tudingnya suatu saat. Tak di daerah, tidak juga di pusat. Begitulah macamnya politisi kita, tambahnya.

Tapi ia tak terlalu setuju jika dengan analogi politik dagang sapi seperti yang diibaratkan para pengamat dan para komentator terhadap laku politik para elit belakangan ini, terutama menjelang pembentukan kabinet tempo hari.

“Itu sama sama saja dengan melecehkan para saudagar sapi. Mereka melakukan transaksi atas dasar perhitungan niaga yang murni. Tawar-menawar di dalamnya justru timbul atas dasar kualitas sapi yang diperdagangkan. Ini sangat beda dengan tawar menawar dagang politisi,” ujarnya terkekeh.

***

AMIEN Rais, Akbar Tandjung, Hamzah Haz dan Megawati jelas bukan politisi pedang sapi. Karena itu, mereka mengaku pasrah dan mengaku tidak ikut campur tangan lagi –apalagi tawar-menawar– dalam penyusunan kabinet yang Rabu (23/8) diumumkan.

Tapi dalam dunia politik, antara apa yang dikemukakan di permukaan seringkali jauh berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Bahkan tak jarang saling bertolak belakang.

Buktinya, sebelum kabinet terbentuk hampir semua tokoh politik berkoar-koar bahwa presiden punya hak penuh untuk memilih dan menempatkan siapa pun di dalam kabinet yang dibentuknya. Di balik itu, tetap saja sejumlah politisi mendesakkan tawar menawar bahwa sekian orang dari partainya harus tercermin dalam kabinet.

Makin tampak lagi ketika hari itu Gus Dur –yang ditinggal ‘mandi’ oleh Megawati– mengumumkan susunan kabinetnya. Begitu pengumuman selesai, saat itu pula meledak berbagai komentar, tanggapan, analisis, spekulasi, bahkan rumor yang hampir sebagian cenderung bernada negatif.

“Saya, terperanjat, terhenyak dan shock. Ternyata mutunya jauh lebih rendah dari kabinet yang kemarin,” ujar Amien Rais. “Gus Dur tidak memanfaatkan religitimasi dari parlemen setelah dia meminta maaf pada sidang tahunan MPR yang baru lalu,” kata anggota DPR/MPR.

“Itu kabinet kroni,” kata Bambang Sudibyo yang tergeser dari kursi Menkeu. Dan, macam-macam lagi koemntar senada, bahkan ada tokoh yang dengan lantang berteriak, “Ini sih kabinet dagelan melengkapi ke-dagelan-an Gus Dur.”

Tak salah jika pernyataan-pernyataan miring ini langsung disambar pendukung Gus Dur dengan mengatakan, “Kalau mereka mengaku partai besar, mestinya mereka berpikir dengan jiwa besar. Tunjukkan bahwa mereka tidak mengutamakan kepentingan kelompok.”

Selain itu, tak ada yang persis tahu, bahwa apa yang tampak pada wajah kabinet tersebut sebenarnya merupakan hasil kesepakatan antara para elit sendiri –di luar yang bereaksi keras karena orangorangnya tidak masuk.

Bukankah sangat mungkin bahwa dengan komposisi kabinet seperti itu sebenarnya ada deal-deal lain yang ditempuh Gus Dur dengan Megawati sebelum penyusunan kabinet itu.

Atau bukankah kompisisi kabinet tersebut sejatinya merupakan cermin dari adu strategi antarkekuatan politik untuk menghadapi ‘perang’ sesungguhnya pada Pemilihan Umum tahun 2004. Bukankah sangat mungkin PDIP dan Golkar sengaja mengambil posisi yang sama untuk tidak terlibat secara mendalam di kabinet, sehingga jika terjadi kesalahan di tubuh kabinet, keduanya tidak terkena getahnya.

Atau, kalau pun kena tidak begitu fatal. Mereka sadar betul bahwa sisa waktu sampai Pemilu 2004 tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan, karenanya maka mereka mengambil strategi berada di luar kabinet.

Terlepas dari berbagai spekulasi dan pernyataan-pernyataan yang sudah mengemuka di media massa –maklum, dunia politik tak seru jika tak didampingi pers, heheh— kita tentu tidak arif jika lantas ikut terbawa untuk menyimpulkan bahwa kabinet ini tidak akan mampu menjawab seluruh persoalan. Kita tidak patut menilai sesuatu hanya atas dasar dugaan-dugaan. Juga dalam hal kabinet baru yang dilantik Sabtu (26/8/2000) itu.

Rakyat tentu wajib memberi mereka kesempatan untuk bekerja secara sungguh-sungguh sehingga menunujukkan prestasi sekaligus membuktikan kepada khalayak bahwa mereka tidaklah seburuk yang diduga dan dispekulasikan.

Berikutnya adalah, mereka bisa bekerja dengan baik jika diberi kesempatan secara tulus, dan tidak diganggu oleh berbagai komentar dan spekulasi yang tidak perlu. Bahwa komposisi kabinet itu seperti ini, ya mungkin merupakan pelajaran sangat baik untuk negeri ini yang para politisinya terbiasa mencampuradukkan taktik dagang sapi dengan kepentingan bangsa.

Apa pun hasilnya, masih lebih baiklah dibanding politik kambing hitam yang jadi ciri ordo sebelumnya. Setidaknya, ada peningkatan, dari kambing ke … sapi! ***

Bandung, 240800




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031