DERING telepon menyentak. Tengah malam baru saja lewat. Suara perempuan, kelu, terdengar di seberang, “Kaget, ya. Saya lagi mabuk. Hihihi. Terlalu banyak minum Chivas. Sialan. Kami sama-sama teler berat. Dia keburu lunglai. Ngorok tuh, di sofa,” katanya. Lalu terkekeh lagi. Agak terengah.
Dia adalah Nadya –sebut sajalah namanya begitu– satu di antara sekian banyak orang yang semula coba-coba jadi wartawan, namun kemudian banting stir.
Hanya bertahan dua tahun sebagai wartawan, ia kemudian memutuskan ganti profesi setelah bibirnya robek dan giginya rompal. Sepeda motornya mencium pohon, dan ia terlontar, mukanya menyodok tunggul pohon di tepi hutan. Saat itu ia baru tiga bulan jadi wartawan dan ditempatkan di sebuah daerah di Sumatera.
Sejak itulah ia putus hubungan dengan dunia pers. “Terlalu berat. Saya tak cocok jadi wartawan,” kata sarjana fisika ini saat mengajukan pengunduran diri. Dan, tengah malam itu, ia menelpon dari kamar hotelnya di kawasan lampu merah Patpong, Bangkok. Entah dari mana ia memperoleh nomor telepon mess tempat saya tinggal di Kupang.
“Kan, saya bekas wartawan,” katanya kembali terkikik ketika saya tanya dari mana dia tahu nomor telepon saya. Dan, ia pun berceloteh tentang aneka pekerjaan yang sudah dicobanya –termasuk menjual asuransi– dan mengaku enjoy dengan kehidupannya kini. Ia menelepon di tengah liburan bersama rekan kumpul kebonya, seorang bule yang ditemukan (atau menemukan)-nya di Jakarta.
Saya langsung teringat sepucuk amplop yang sebulan sebelumnya tergeletak di celah di bawah pintu. Dikirim dari sebuah kecamatan di Kabupaten Sengkang. Surat itu dari –juga– ‘bekas’ wartawan yang kami rekrut di Bandung di akhir 1989, setahun kemudian keluar dan berdinas sebagai pegawai negeri pedalaman Sulawesi.
“Saya sudah berani pegang kebo dan menyuntiknya,” tulis dokter hewan yang pernah kesasar jadi wartawati, dan pernah menangis sesenggukan ketika pulang meliput lokalisasi pelacuran itu. Seperti Nadya, rekan satu ini juga merasa jurnalistik bukanlah dunianya.
Banyak orang yang ‘kesasar’ dan kemudian kepalang tanggung hidup di dunia pers, sebab memang pers termasuk wadah yang sangat terbuka menampung orang dengan aneka disiplin.
Banyak pula yang semula menganggap pers sebagai bidang kerja paling cocok, ternyata memutuskan sebaliknya. Karena ternyata menjadi wartawan yang profesional bukan saja sulit, tapi lingkungan industri bisnis persnya pun tampak tak terlalu siap.
Kini, ketika era keterbukaan terkuak lebar, bahkan setiap orang bisa jadi wartawan. Orang tanpa pengetahuan dan pengalaman jurnalistik pun malah bisa mendadak jadi pemimin redaksi. Padahal, menurut pengalaman saya sekitar 10 tahun terlibat dalam rekrutmen wartawan, mencari wartawan itu susah betul.
Jurnalis adalah profesi terbuka tapi tak semua orang bisa layak memikul tanggungjawab berkarya di dalamnya. Di beberapa tempat, kami bahkan terpaksa menurunkan kualifikasi dan bobot seleksi dan pelatihan, karena sulitnya mencari sumber daya manusia. Pelamar memang bejibun, tapi yang memenuhi kualifikasi standar, amatlah sedikit.
Pada kesempatan lain, pernah kami (saya dan tim) menguji lebih dari 200 pelamar (dari 400-an yang lolos seleksi awal), dan hanya menghasilkan 11 dari 15 yang dibutuhkan. Itu pun, yang bertahan hingga kini –empat tahun kemudian– hanya tinggal tujuh orang saja. Tapi, jumlah wartawan toh terus bertambah. Demikian pula jumlah penerbitannya. Begitu pula jumlah organisasi persnya.
Boleh jadi, hari pers kini ‘dirayakan’ oleh lebih banyak lagi insan pers dan oleh lebih dari 40 organisasi wartawan, setelah puluhan tahun didominasi satu-satunya organisasi wartawan yang telanjur pernah membiarkan diri dikooptasi penguasa. Bahkan, di beberapa daerah ada pengurusnya yang merasa dan bertingkah tak jauh berbeda dengan birokrat pemerintah.
Kini, jumlah wartawan pasti jauh lebih banyak lagi dengan banjirnya media. Pernah, seorang teman yang baru pulang dari Jakarta menyodorkan satu eksemplar Borneo, tabloid dari Kalteng yang dicetak di ibu kota dan saya mendapatkannya di Bandung.
Di Banjarmasin pun, muncul surat kabar baru, yakni Metro Banjar, BëBAS, Serambi Ummah dan Kalimantan Pos, di samping Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Indonesia Merdeka, Gawi Manuntung, Gaung dan Wanyi, Mata Banua dan lain-lain, meski kehilangan Dinamika Berita.
Saya juga sempat kaget. Di tempat kelahiran saya di Jawa Barat, dulu cuma ada Bandung Pos, Gala, Mandala dan Pikiran Rakyat serta mingguan berbahasa Sunda Giwangkara (matahari) dan majalah Mangle (untaian kembang, ronce). Lalu ada satu dua tabloid eksklusif.
Sejak keran kebebasan pers dibuka, marak pula penerbitan surat kabar. Simak, yang berbentuk tabloid saja misalnya. Ada Deru, Deras, CAS, Forum Bandung, Fokus Bandung, Debat, Detail Pos, XPose, BOM, Ka’Bah, Zakaria, Hikmah, Mitra Bisnis, Cianjur Pos, Sukabumi Pos, radar Sukabumi, Bogor Pos, Radar Bogor, Puncak Pos, Gerage Pos, Cerbon Pos, Radar Cirebon, Mitra Dialog, dan majalah Mangle.
Sedangkan yang berbentuk surat kabar biasa, ada Suara Baru, Suara Publik, Galamedia, Bandung Pos, Pikiran Rakyat, Priangan Pos, Giwangkara (Sunda Post), Radar Bandung, Metro Bandung yang kemudian berubah jadi Tribun Jabar dan entah apa lagi.
Sementara di kawasan Banten –yang berhasil “memerdekakan diri” dari Jawa barat– ada Media Rakyat, Mingguan Pelopor, Banten Ekspres, Gema Banten, Banten Raya dan Banten Pos dan Fajar Banten serta Radar Banten.
Luar biasa. Di tengah serbuan koran, tabloid, dan majalah dari ibu kota, orang-orang di daerah dengan gairah besar membangun medianya sendiri. Mencoba peruntungan, atau memang didasari perhitungan bisnis yang matang, tak jadi soal.
Yang jelas, masyarakat makin diuntungkan sebab memperoleh kian banyak kesempatan memilih bacaan yang sesuai bagi dirinya dan bisa memperkaya gizi intelektualitasnya. Bersamaan dengan itu, berlangsung pula persaingan bebas –mudah-mudahan sehat– yang pada akhirnya menghasilkan media yang betul-betul cocok dengan kebutuhan rakyat.
Memang, ada di antara koran-koran dan tabloid baru itu yang masih bertahan hingga kini, tapi tak kurang pula cuma beberapa edisi, lalu tak pernah nongol lagi. Malah di Bandung ada harian yang cuma sempat terbit empat kali, setelah itu wes ewes ewes, bablas!
Ya, korannya boleh amblas, tapi wartawan –sebagai profesi yang bebas– mestinya tetap mengada dan bisa tetap berkarya untuk membuat bangsanya semakin cerdas, melalui kiprahnya sebagai freelancer.
Namun hal ini tak mudah dilakukan, sebab penghargaan para penerbit terhadap wartawan bebas (freelance) –eh jangankan wartawan freelance, yang organik pun– kadang jauh dari kelayakan.
Bahkan ada penerbit –pasti bukan di Banjarmasin– yang cuma ‘menggaji’ wartawannya dengan secarik kartu pers, dan membiarkan –kalaupun tidak menyuruh– sang wartawan mencari sendiri gajinya (kalau perlu, setor pula) dengan caranya sendiri.
Malah ada juga ‘organisasi jurnalis’ hanya sibuk tiap menjelang hari pers. Mereka ke sana ke mari menjajakan proposal hari pers, dan terus terang mengemis sumbangan. Hal yang mestinya tak mungkin terjadi di tatar Banjar ini.
Lepas dari itu semua, saya secara pribadi gembira melihat pesatnya pertumbuhan pers saat ini yang begitu cepat dan deras. Bayangkan, di Bandung, ada sebuah sebuah tabloid berita serius yang diterbitkan untuk lingkup masyarakat sebuah kecamtan.
Di Banjarmasin sendiri, tumbuh sekurang-kurangnya enam surat kabar baru. Bahkan Timika di Papua yang sunyi dan terpencil pun sebentar lagi akan disemarakkan dua surat kabar.
Makin banyak media massa diterbitkan dan didirikan, kian besar pula peluang banyak orang untuk memasuki dunia pers dan makin mempertinggi dinamika kita dalam berdemokrasi. Masyarakat yang demokratis ditandai oleh persnya yang tumbuh dan berkembang sehat karena menjadi bagian dari interaksi masyarakat itu.
Kian banyak koran, tabloid, majalah, radio dan televisi tumbuh, makin terbuka luas pula kesempatan masyarakat kita berkarya di dunia jurnalistik dan berbagai bidang kerja yang terkait dengannya. Namun, tak setiap orang yang bisa tahan dalam perjuangan menegakkan idealisme kemerdekaan berpendapat ini.
“Meski semangat saya besar untuk jadi wartawan, ternyata saya tak tahan,” begitu kata penutup pada surat yang ditulis rekan saya yang kini lebih memilih profesi mengurusi kesehatan hewan itu. Ya, apa boleh buat. Surat itu pun saya lipat lagi dan saya sisipkan ke dala amplop asalnya yang kumal.
Rupanya, di pedalaman tempat dia berdinas, cari amplop saja susah. **
Bandung, 08022000