Posts Tagged ‘timur tengah

27
Nov
08

“Made In” Indonesia

kakikakikakiYARTI adalah contoh kesekian tentang betapa sialnya nasib buruh dari sebuah negeri kaya berpenduduk lebih dari 200 juta –baca dua ratus juta!– ini.

Bayangkan, setelah duitnya disedot untuk biaya pendaftaran, pe latihan, dan pemberangkatan, sebagai tenaga kerja wanita (istilah yang dijadikan topeng rezim orde baru untuk ‘memuliakan’ predikat buruh bagi kaum perempuan yang menjalani profesi itu), tenaganya diperas sebagai jongos di negeri seberang.

Lalu, begitu tiba di tanah air masih juga dipalaki bangsat-bangsat yang nyanggong di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta (lebih tepat, Tangerang). Eh, ketika hendak mudik, bandit bertopeng sopir taksi merampok Yarti habis-habisan.

Yarti, perempuan muda yang –mungkin karena nasib– diekspor sebagai jongos untuk melayani keluarga asing di tempat asing, jauh dari keluarganya nun di dusun, di Jawa.

Ketika pulang dengan sedikit harta hasil pengkristalan keringatnya selama membabu, ia dirampok. Untung, ia tak digagahi ramai-ramai para bajingan rimba ibu kota itu. Tapi, ia jadi kelu. Tak bisa bicara. Sukar mengingat peristiwa yang dialaminya.

Banyak yang bernasib jauh lebih sial dari Yarti. Dekspor –seperti ikan sarden– ke luar negeri. Diperbabukan, digagahi majikan, dipulangnkan, atau bahkan tewas bunuh diri karena tak tahan menanggung aib.

Ada juga yang jadi orang buian karena menghabisi majikannya yang berusaha merenggut kehormatannya. Ahoii, demikian burukkah nasib perempuan buruh made in Indonesia!

Bisa jadi, ya. Lihat, mereka dijaring lewat calo-calo buruh yang berkeliaran hingga ke pelosok-pelosok desa. Lalu dikemas berbagai ‘pusat latihan’ untuk diajari menggunakan mesin cuci dan setrikaan listrik, dan sedikit tata-titi mengatur meja, kemudian diekspor dalam ‘paket-paket’ pengiriman tenaga kerja. Pulangnya, diperas, dirampok, bahkan ada yang digagahi justru oleh bangsa sendiri.

Nasib mereka mungkin tak kalah buruk dari Marsinah. Buruh pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, bertahun-tahun silam. Perempuan kelahiran Nganjuk 1969 itu ditemukan tewas dalam kea daan yang bikin orang waras bergidik.

Ia cuma menyuarakan nasib diri dan kawan-kawannya, namun remuk redam digilas mesin-mesin penindas yang begitu intensif dioperasikan pada masa itu.

Beberapa waktu lalu namanya kembali disebut-sebut. Polisi Jawa Ti mur mengumumkan akan menyelelidiki lagi penyebab kematiannya yang –kala itu disebut– misterius, meski banyak pihak yakin bah wa hancurnya perempuan ini mereupakan bentuk terburuk dari praktek brutal kekuasaan untuk memberangus siapa pun yang dianggap bisa ‘mengganggu stabilitas’.

Betapa hebatnya. Seorang perempuan, buruh kecil, dianggap seba gai bom yang bisa mengguncang stabilitas negara. Atau sebaliknya, betapa ketakutannya penguasa saat itu, bahkan suara kecil, lemah, dan ringkih pun harus dibungkam karena mengalunkan nada yang berbeda.

Kini, ketika koridor kebebasan sudah terbuka, kaum buruh dan rakyat kecil mulai memperoleh kembali suara hatinya dan berani melontarkannya secara lepas dari jalan raya yang terik sengagar ke dalam gedung-gedung wakil raykat yang megah dan disejuki mesin pendingin suhu.

Di beberapa kota yang sarat industri, seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, Surabaya, dan Medan, kita menyaksikan gerakan para buruh makin terkoordinasi. Mereka seakan menemukan hak- haknya yang selama ini seakan tak pernah mereka miliki.

“Saya cuma ikut perjuangan teman-teman. Kelihatannya bagus, minta gaji kami naik. Ya, kita ikut,” ujar Maman, lelaki berusi 42, buruh sebuah pabrik tekstil di Bandung dalam sebuah demo di Jakarta. Ikut-ikutan atau kesadaran, tampaknya tak terlalu penting.

Yang jelas, kecenderungan ini mestinya menjadi semacam peringatan dini bagi para pengusaha kapitalis yang melulu memburu keuntungan dengan menekan sekecil mungkin biaya, termasuk memeras keringat para buruh.

Gerakan buruh tak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga daerah-daerah lain. Ini tentu saja perkembangan yang sangat positif bagi dinamika kaum pekerja di sini, meski sering disikapi sebaliknya oleh pengusaha –yang dengan lobi dan uangnya– bisa mendekati penguasa untuk membatasi, bahkan –kalau perlu– memberangus gerakan seperti itu.

Kekuasaan dengan aparat sebagai tangan-tangan kokohnya yang menggurita, bisa saja merekayasa hukum. Membolak-balik kebenaran sebagaimana yang terjadi pada kasus Marsinah. Namun kenyataan menunjukkan, makin ditindas gerakan itu, kian massif dan makin melebar pula reaksi baliknya.

Penindasan, di mana pun, selalu akan menghasilkan perlawanan yang terus menerus dan makin lama kian membesar. Tumbangnya rezim orde baru telah memberi gambran yang demikian nyata, bahwa penguasa bisa seenaknya menindas rakyat dan memberangus perlawanan, tapi ketika tiba pada saatnya tak ada kekuatan apa pun yang bisa membendung desakan perlawanan itu.

Menjelang peringatan hari buruh se-Dunia, kasus Marsinah sempat dimunculkan lagi. Organisasi buruh sedunia (ILO) pun memang masih mencatatnya sebagai kasus Nomor 1173 pada deretan kasus- kasus buruh yang belum selesai.

Kasus Marsinah dicoba diungkap dua kali, yakni babak I (1995), ketika kasus itu mulai dibicarakan banyak kalangan, namun akhirnya kandas di tingkat kasasi. Babak II, tahun 1997, saat tim koneksitas mencoba mengungkap kembali, namun tak ada kejelasannya.

Di era pemerintahan Gus Dur, muncul pernyataan yang mendesak agar perkara Marsinah diungkap kembali hingga kebenaran benar- benar terkuak. Saya yakin, saat itu Gus Dur mendesak pengusutan ulang kasus ini bukan karena dia akan hadir sebagai tamu khusus dan berbicara di hadapan peserta sidang ILO di Jenewa, Swiss, Juni 2000.

Namun, lebih dari itu, ia punya komitmen penuh untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkap pembunuh Marsinah –juga kasus- kasus lain di masa silam– dengan mengedepankan supremasi hu kum.

Kasus buruh bukan hanya kasus Marsinah, melainkan juga berbagai kasus lain yang menyangkut buruh kita dan penangannya selama ini terkesan tidak memuliakan kemanusiaan dan penuh tipu muslihat serta dusta-dusta.

Di samping Marsinah, kita masih melihat nasib para buruh lain yang begitu buram dan tak terjamin. Selamanya jadi buruh dan tak pernah dijadikan komponen aset perusahaan, diupah seadanya, dengan status yang rawan.

Tengok saja pabrik-pabrik di sekitar kita, berapa persen di antara ribuan buruh itu yang mendapat status permanen dan memiliki peluang mengisi jenjang karir sebagai profesional di bidangnya.

Itu masih lebih beruntung dibanding mereka yang disamakan de ngan barang ekspor. Dikemas rapi, dibungkus sedikit hasil latihan keterampilan, lalu dikirim ke berbagai rumah tangga di Timur Tengah, Singapura, dan lain-lain sebagai jongos made in Indonesia.

* Bandung 022000

27
Feb
08

Yerusalem 2000

rami1s.jpg

VERA sengaja dipilih untuk tampil solo membawakan in­tro seka­ligus kemudian sebagai lead vocal, dan solo pada chorus, tentu de­ngan beberapa alasan. Pertama, tentu vokalnya yang tipis dan ta­­jam bagai pedang akan cocok un­tuk ‘menjeritkan’ dramatika derita kor­ban-korban perang. Kedua, wajahnya yang cantik dengan hidung ba­ngir –mirip wa­jah khas Timur Tengah– dan resam tubuhnya yang jang­­­­kung, pas untuk membawakan lagu dengan tema inti pada konflik Timur Tengah itu.

Be­tul saja. Saya merinding ketika menyaksikan kembali tayangan Lingga Binangkit ini pada siaran televisi nasi­onal untuk menyemarakkan per­ingatan Isra Miraj. Adegan klimaks de­­­­ngan Vera (dan terutama vo­kalnya) sebagai ti­tik utama be­tul-betul menancapkan kesan yang men­dalam. Iringan Pur­watja­raka lewat orkestra ‘tunggal’nya yang nya­­ris tak kalah dengan sebuah simponi lengkap, memperkokoh ba­ngunan suasana haru-biru kemelut zona perang yang hendak dieks­­presikan.

……………..
Yerusalem,
Kota Suci Masa Silam
Yarusalem,
Seolah damai telah tiada.
Kisah panjang sebuah bangsa
terusir dari tanah-Nya,
berkelana penuh derita
entah kapan kan berakhir
……………….

Itulah nukilan dari syair yang saya gubah untuk lagu Yerusa­lem, yang no­­­­tasinya ditulis Djuhari –seorang komponis tua Ban­dung yang la­gunya pernah sangat terkenal di tahun 60-an Seuntai Manikam untuk melukiskan keindahan, kecemerlangan dan kedamaian Nusantara– dan aransemennya disusun Purwatjaraka, insinyur jebol­an ITB yang ‘tersesat’ di belantika musik.

Itu tahun 1988. Boleh jadi, saat itu Rami Al­durra dan Mohammed An‑Najjra, ba­­ru –atau bahkan belum– dilahirkan. Dan Vera, saat itu su­dah pas­­ti belum jadi nyonya Elfa Secioria.

Saya teringat kembali pe­nampilan Vera dalam Yerusalem itu, ke­tika menyaksikan tayangan te­le­visi Perancis awal Oktober. Rami –bocah 12 tahun– itu tersungkur tewas di pangkuan ayahnya yang meringkuk, beru­sa­ha berlindung dari hujan peluru. Tubuh ringkih bocah itu di­ko­yak-koyak peluru yang daitabur serdadu Yahudi di Yerusalem, (sekuen foto yang diambil dari rekaman videonya ini kemudian disiarkan secara luas oleh media cetak).

Sedangkan An‑Najjra, tewas dengan lubang di kening dan bela­kang kepalanya. Peluru tajam yang dilepas ser­dadu Israel, dengan mu­dah menembus tulang muda batok kepala anak itu di Khan Yunis, se­latan Jalur Gaza, dua minggu setelah Rami gugur dan dimakamkan lewat proses yang emosional.

Aldurra dan An-Najjra ser­­ta bocah-bocah tang­gung lainnya yang bergelimpangan itu, hanyalah sebagian di antara lebih 120 (sam­pai pekan ketiga Oktober) war­ga Palestina yang tewas ditem­baki ser­dadu Yahudi. Se­jak konflik meletus lagi menyusul provo­kasi bekas Menteri per­tahanan Israel Ariel Sharon, Yarusalem kini kem­bali diperciki darah para syu­hada.

Ya, Yerusalem. Kota Suci sepanjang masa, tonggak Mi­raj-nya Mu­­­ham­mad me­nuju Sidratul Muntaha, melanjutkan Isra dari tepi Ka­bah di bawah bimbingan Jibril. Disebut tempat suci, karena pada ti­tik –di mana kini berdiri Masjidil Aqsha– inilah, Muhammad sembahayang se­belum ‘bertolak’ menemui Sang Khalik, menyem­pur­na­kan kerasulannya.

Karena itulah, sangat bisa dipahami jika umat Islam marah ke­­­­tika Ariel Sharon ujug-ujug petantang-petenteng ke Baitul Maq­dis. Sejak beberapa lama nama Sharon yang tenggelam, kini hampir tiap ha­ri disebut-sebut lagi di media massa seluruh dunia, menyu­sul la­­­wat­annya Kamis 28 September yang menyulut amarah dan ke­mudian mem­bangkitkan kembali intifada yang berdarah-darah itu.

Sharon diberhentikan oleh Menachem Begin –ketika itu Per­da­­na Menteri Israel– dari jabatannya selaku Menteri Pertahanan ber­­kaitan dengan trgedi Sabra dan Shatila, kamp pengungsi Pa­les­tina di barat Beirut, Lebanon. Itu pun atas tekanan dunia in­terna­si­onal. Orang tak akan per­nah lupa pem­bantaian 16 Sep­tember 1982 oleh pasukan milisi Fa­langis dukungan Sharon. Se­dikitnya 300 war­ga Arab, umumnya wa­nita dan anak‑anak, tewas ber­kuah darah di barak pengungsian Sabra dan Shatila.

Sharon mengomandokan penyerbuan besar‑besaran ke Libanon Se­latan tahun 1982 dengan dalih mengusir pejuang Organisasi Pem­be­bas­an Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat. Katanya sih, ins­truksi penyerbuan ini disusun secara rahasia oleh Sharon tanpa kon­­sultasi ke Knesset, parlemen Israel. Makanya –setelah korban bergelimpangan, dan dunia mengecam– kalangan anggota Knesset me­nentang keras penyerbuan ke Lebanon. Tapi akhirnya mereka toh me­nyetujui pencaplokan atas wilayah Lebanon Selatan.

Sejak Israel memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1948, se­tidaknya tercatat empat peperangan dahsyat antara bangsa Arab dan Yahudi, yakni perang tahun 1948, 1956, 1967, dan tahun 1973. Pe­rang tahun 1967 Israel berhasil mencaplok Semenanjung Sinai dan Ja­­lur Gaza di Mesir; Jerusalem; Tepi Barat Sungai Yordan di Yor­dania; dan Dataran Tinggi Golan di Su­riah.

Sedangkan pada Perang Oktober 1973 yang bertepatan dengan Yom Kipur, Hari Suci dalam kalender Yahudi, dan Bulan Suci Ra­ma­dan bagi umat Islam, giliran bangsa Arab (Mesir) mengungguli pe­rang besar yang mereka analogikan dengan ‘Perang Badr II’ itu. Tak kurang dari 2.700 serdadu Israel tewas. Dan, Bar Lev, kawasan Me­sir di semenanjung Sinai yang dicaplok Israel tahun 1967, kem­bali ke pangkuan Mesir.

Nah, ‘keunggulan’ Arab dan ‘kekalahan’ Israel pada perang 19­67 ini­lah yang akhirnya memaksa Israel bersedia maju ke meja pe­run­dingan damai. Namun, itu pun memerlukan proses yang lama dan ber­belit –sekitar 12 tahun– sehingga baru diteken di Camp David (AS), tahun 1979. Meski, kita tahu semua, sesungguhnya Israel tak per­­nah konsisten. Akibatnya, konflik ber­darah te­rus melumuri Yerusalem serta kota-kota lain di jazirah itu.

Itu pula yang bikin gregetan pihak mana pun yang selama ini men­­junjung tinggi perdamaian dan penghormatan penuh atas hak asa­si manusia. Di antara bangsa Yahudi sendiri, banyak yang lebih cin­­­ta kerukunan hidup dengan bangsa Arab ketimbang terus-menerus baku serang. Demikian halnya di kalangan bangsa Arab. Sosok Yas­ser Arafat dan Shimon Perez bisa mewakili dua kutub yang bertemu pada titik kepentingan sama itu: perdamaian.

Semangat itu pula yang menggerakkan para tokoh politisi, aga­­­mawan, dan ilmuwan dunia, mau bergabung dalam yayasan untuk per­damaian yang diprakarsai Shimon Perez. Termasuk dalam barisan ini ada­lah KH Abdurrahman Wahid yang ketika itu sebagai cende­ki­awan Is­­lam terkemuka dari Indonesia, sekaligus pemimpin jutaan Nah­dliyin.

Namun di Indonesia, situasinya bisa lain lagi. Kedudukan Gus Dur pada yayasan itu belakangan dipersoalkan, malah dijadikan amu­­nisi untuk mem­be­rondong kedudukannya pada kursi presiden. De­ngan mengambil mo­men­tum kebiadaban Israel atas bangsa Palestina yang dipicu insi­den di Yerusalem, orang mendesaknya untuk keluar dari yayasan itu se­bagai pernyataan sikap keberpihakan Indonesia kepada pen­de­ri­ta­an rakyat Palestina.

Orang lupa, bahwa yayasan itu didirikan dengan tujuan meng­galang upaya-upaya perdamaian. Keluar dari organisasi itu, atau bahkan membubarkan sekaligus lembaga tersebut, tidaklah menjamin bang­sa Palestina akan bebas dari penindasan Israel.

Begitu pun, ji­ka ditakdirkan Palestina memenangkan perti­kai­an ini atas dukungan dan keberpihakan negara-negara lain, tak ada yang bisa menjamin bangsa Israel bebas dari pe­nindasan bangsa Arab, atau bahkan mungkin upaya pe­mu­nahan –karena di­anggap jadi biangkerok kekacauan– sebagaimana per­nah dilakukan re­­zim Hitler da­hulu akan terulang lagi.

Jika ini yang terjadi, maka keadaan akan te­rus demikian, se­bab hidup tidak lagi dilandasi cinta kasih se­jati sebagai sesama mah­­luk cipataan Tuhan. Perdamaian tak akan pernah terwujud selama hu­bungan antarumat manusia dilandasi kebencian dan balas dendam, seperti yang tengah terus berkecamuk di Palestina-Israel.

Di Tepi Barat, menjerit ribuan umat.
Siksa ganas membara di sepanjang Jalur Gazza
eperti Sabra dan Shatila, saat insan lupa sesama
Hidup dalam dendam membara,
antara darah darah dan ama­rah.

Yerusalem……,
Yerusalem……,
Yerusalem……!

(Nukilan –refrein– syair Yerusalem – 1988)

Bandung, 25 Oktober 2000




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031