NABIL mungkin benar ketika mengatakan tak ada satu pun yang dapat menghalangi Arafat untuk maju kembali ke arena pemilihan presiden. Arafat adalah Palestina, dan Palestina adalah Arafat.
“Ia memiliki semua syarat yang diperlukan untuk mencalonkan diri sebagai presiden Palestina,” kata Nabil Shaath salah seorang anggota kabinet Palestina itu. Ya, Arafat adalah sosok yang tak bisa dipisahkan dari Palestina.
Darah dan dagingnya adalah darah-daging seorang anak bangsa yang mencurahkan seluruh hidupnya demi tegaknya kedaulatan sebuah bangsa, demi harapan dan masa depan mereka, yang –dari waktu ke waktu– terus dikoyak dan dicabik-cabik kerakusan dan kebiadaban bangsa lain, Yahudi.
Insiden Jumat (28/6/2002) menunjukkan, betapa Israel tak lagi mengindahkan kedaulatan bangsa Palestina.
Bahkan markas besar Arafat –semacam istana kepresidenan– di di Al‑Khalil alias Hebron, diluluhlantakkannya dengan bahan peledak dan belasan buldoser lapis baja seperti meruntuhkan gedung tua untuk kepentingan pemugaran.
Sharon boleh saja membayangkan bahwa iman perjuangan para syuhada Palestina akan pupus dengan cara-cara macam itu. Tapi, siapa bisa membendung bara cinta anak-anak sebuah bangsa atas tanah airnya? Mereka boleh terusir, tapi mereka akan kembali. Mereka bisa ditindas dan diberangus, tapi mereka akan bangkit dalam sebuah perlawanan tanpa rasa takut.
“Ya, kami akan kembali,” kata Abu Salma, lewat sajak yang ditulisnya tahun 1951, atau tiga tahun setelah ia terusir dari tanah tumpah darahnya saat Israel dengan bengis mencaplok juga Haifa, tanah kelahirannya.
Salma tersingkir ke Akka, lalu bermukim di Damaskus sampai akhir hayatnya. Penyair yang di lingkungan komunitas sastra Timur Tengah dikenal sebagai Salma dari Haifa itu wafat tahun 1980 dalam usia 73. Malah, mungkin tanpa sempat menginjakkan lagi kakinya tanah leluhur di mana ia dilahirkan.
Padahal ketika memulai perjalanannya, ia membawa kunci rumah dan kunci kantornya di Haifa dengan suatu keyakinan bahwa suatu saat akan kembali.
Ya, Salma mungkin tak pernah bisa kembali ke Haifa, namun anak-anak bangsa Palestina, sebagaimana Arafat, akan muncul begitu yang lain binasa. Patah tumbuh hilang berganti. Sudah berapa ribu putra-putri mereka gugur, tapi perlawanan terhadap kelaliman Israel tak pernah kunjung surut.
Medan perjuangannya pun tak pernah kehilangan bentuk. Ketika intifada sudah tak lagi efektif melawan tank-tank dan meriam serta senjata otomatis dan mesin-mesin pembunuh lain, anak-anak muda itu membulatkan tekad, menyatukan diri dengan bom dan meledakkan sebuah perlawanan betul-betul sampai titik darah penghabisan.
Makin keras tekanan Yahudi, kian deras pula aksi-aksi mati sahid itu. Perjuangan, juga bisa dilakukukan dengan cara seperti yang ditempuh Salma dari Haifa yang ketika lahir bernama asli Abdul Karim Al‑Karmi itu. Ia berjuang dengan suara hati. Ya, itulah yang dipekikkan Salma ke seantero negeri. Dan, suara hati itu disampaikannya dalam bentuk larik-larik puisi.
O, kekasihku, Palestina. Kami kan kembali Akan kami kecupi ruap bau tanah dengan rona merah yang mengaliri bibir-bibir kami. Ya, besok kami kan kembali, dan anak cucu akan mendengar derap langkah kami….kata Salma lewat salah satu bait sajak yang ditulisnya pada 1951. Dan, 27 tahun kemudian Salma mendapat penghargaan internasional, Anugerah Sastra dari Asosiasi Sastrawan Asia dan Afrika. Sementara itu, dari waktu ke waktu dan dengan berbagai cara, Israel berusaha menindas Palestina. Tapi bersamaan dengan itu pula perlawanan demi perlawanan terus berlanjut. Ya, bangsa Palestina akan kembali, kata Salma berulang-ulang.
Kami akan kembali bersama badai bersama guntur dan hujan meteor bersama harapan dan nyanyian bersama kepak sayap rajawali bersama fajar yang tersenyum menyapa gurun bersama pagi di atas gelombang laut : dengan panji-panji berdarah dengan pedang-pedang megkilap dan dengan tombak-tombak runcing menoreh langit!Betapa, di balik kelembutan, keindahan, dan keteduhuan yang menyosok pada ungkapan-ungkapannya itu menyeruak gairah untuk melawan. Gairah yang begitu keras dan tajam tak kenal ampun demi tercapainya sebuah harapan.
Semangat yang menggelora pada sajak-sajak Salma tampaknya tak kalah garang dengan ‘gairah’ intifada yang menjalari sosok-sosok ringkih pemuda-pemuda belia berwajah polos, putra-putri sang kekasih, Palestina.
Simak saja, selang sehari setelah serdadu Israel membumihanguskan markas Arafat, sebuah bom meledak di sepanjang rel kereta di Tel Aviv (Minggu, 30/6/2002), nyaris melumat satu gerbong berisi 500 penumpang.
Sebelumnya, awal Juni, dua kali aksi bom bunuh diri telah menewaskan 26 orang Yahudi. Aksi serupa, terjadi di berbagai tempat. Dalan kurun dua tahun terakhir saja, tercatat lebih dari 70 kali aksi bom bunuh diri di wilayah Israel yang dilakukan pejuang‑pejuang Palestina. Lebih dari 240 warga Yahudi binasa.
“Aksi bom bunuh diri itu merupakan bagian dari perjuangan suci rakyat Palestina untuk merebut kembali hak‑hak mereka yang secara semena‑mena dirampas kaum Zionis Yahudi,” ujar Paus Shenuda III, Pemimpin kharismatik Gereja Koptik Mesir.
Israel –tentu saja dibantu sekutu paling karibnya, Amerika– mati-matian melakukan berbagai upaya membendung aksi-aksi jihad itu. Termasuk, membumihanguskan “istana” Arafat.
Israel boleh saja ngotot bahwa tindakan keras yang mereka lakukan adalah untuk menghentikan aksi-aksi itu. Ia boleh mati-matian memekik-mekik bahwa Palestina lah biang keladinya.
Sebaliknya, dunia pun tahu persis bahwa para syuhada Palestina bergerak justru karena hak-hak bangsa mereka dirampas. Siapa pun tahu belaka bahwa Israel memburuk-burukkan Palestina di mata dunia semata untuk menutupi keborokan perilakunya sendiri.
Namun perilaku Yahudi seperti itu memang tak cuma kepunyaan Israel di bawah kepemimpinan Sharon. Di lingkungan kita sendiri, masih sering kita temukan orang-orang macam itu. Selalu akan kita jumpai orang yang memburukkan orang lain demi menutupi borok dirinya di mata umum.
Boleh saja ia bersuka cita sementara. Tapi tunggulah. Seperti kata Salma dari Haifa:
Kami akan kembali bersama badai, bersama guntur, bersama tombak-tombak runcing menoreh langit…Lihat saja. ***
* Bandung – 300602
Stop Genoside in palestine! Aksi yang dilakukan Israel sekarang ini tak lebih dari upaya genosida bagi bangsa Palestina…. kalau dunia mau peduli dengan genosida dengan rakyat Rwanda atau Camp konsentrasi Nazi… kenapa dunia nggak lagi peduli dengan penderitaan bangsa Palestina…. ???
Stop Violence Actions! Peace For palestine
Ya… itulah yang memprihatinkan. Dunia, bahkan negara-negara Arab tetangga sangat dekat Palestina, seakan tak berdaya sama sekali. Kita dari jauh, hanya bisa berdoa, semoga kekejaman itu segera berakhir.
allohu akbar…….. israel dan amerika akan merasakan api neraka.