01
Mar
08

Salma dari Haifa

salma_haifa.jpg

NABIL mungkin benar ketika mengatakan tak ada satu pun yang dapat menghalangi Arafat untuk maju kembali ke arena pe­milihan presiden. Arafat adalah Palestina, dan Palestina adalah Arafat.

“Ia memiliki semua syarat yang diperlukan untuk men­ca­lonkan diri sebagai presiden Palestina,” kata Nabil Shaath salah seorang ang­gota kabinet Palestina itu. Ya, Arafat adalah sosok yang tak bisa dipisahkan dari Pales­tina.

Darah dan dagingnya adalah darah-daging seorang anak bangsa yang mencurahkan seluruh hidupnya demi tegaknya kedaulatan sebuah bangsa, demi harapan dan masa depan mereka, yang –dari waktu ke wak­­­tu– terus dikoyak dan dicabik-cabik kerakusan dan kebiadaban bangsa lain, Yahudi.

Insiden Jumat (28/6/2002) menunjukkan, betapa Israel tak la­gi mengindahkan kedaulatan bangsa Palestina.

Bahkan markas besar Ara­fat –semacam istana kepresidenan– di di Al‑­Khalil alias Heb­ron, diluluhlantakkannya dengan bahan peledak dan belasan bul­do­ser lapis baja seperti meruntuhkan gedung tua untuk kepen­tingan pemugaran.

Sharon boleh saja membayangkan bahwa iman perjuangan para syu­hada Palestina akan pupus dengan cara-cara macam itu. Tapi, siapa bisa membendung bara cinta anak-anak sebuah bangsa atas tanah airnya? Mereka boleh terusir, tapi mereka akan kembali. Mereka bisa ditindas dan diberangus, tapi mereka akan bangkit dalam sebuah perlawanan tanpa rasa takut.

“Ya, kami akan kembali,” kata Abu Salma, lewat sajak yang ditulisnya tahun 1951, atau tiga tahun setelah ia terusir dari tanah tumpah darahnya saat Israel dengan bengis mencaplok juga Ha­ifa, tanah kelahirannya.

Salma tersingkir ke Akka, lalu ber­mukim di Damaskus sampai akhir hayatnya. Penyair yang di lingkungan komunitas sastra Timur Tengah di­kenal sebagai Salma dari Haifa itu wafat tahun 1980 dalam usia 73. Malah, mungkin tanpa sempat menginjakkan lagi kakinya tanah le­luhur di mana ia dilahirkan.

Padahal ketika memulai perjalan­an­nya, ia membawa kunci rumah dan kunci kantornya di Haifa dengan suatu keya­kinan bahwa suatu saat akan kembali.

Ya, Salma mungkin tak pernah bisa kembali ke Haifa, namun anak-anak bangsa Palestina, sebagaimana Arafat, akan muncul be­gi­tu yang lain binasa. Patah tumbuh hilang berganti. Sudah berapa ribu putra-putri mereka gugur, tapi perlawanan terhadap kelaliman Israel tak pernah kunjung surut.

Medan perjuangannya pun tak pernah kehilangan bentuk. Ketika in­ti­fada sudah tak lagi efektif melawan tank-tank dan meriam ser­ta senjata otomatis dan mesin-mesin pembunuh lain, anak-anak muda itu membulatkan tekad, menyatukan diri dengan bom dan mele­dak­kan se­buah perlawanan betul-betul sampai titik darah penghabisan.

Ma­­kin keras tekanan Yahudi, kian deras pula ak­si-aksi mati sahid itu. Perjuangan, juga bisa dilakukukan dengan cara seperti yang ditempuh Salma dari Haifa yang ketika lahir bernama asli Abdul Ka­rim Al‑Karmi itu. Ia berjuang dengan suara hati. Ya, itulah yang dipekikkan Salma ke seantero negeri. Dan, suara hati itu di­sampaikannya dalam bentuk larik-larik puisi.

O, kekasihku, Palestina.
Kami kan kembali
Akan kami kecupi ruap bau tanah
dengan rona merah
yang mengaliri bibir-bibir kami.
Ya, be­sok kami kan kembali,
dan anak cucu akan mendengar
de­rap langkah kami….

kata Salma lewat salah satu bait sajak yang ditulisnya pada 1951. Dan, 27 tahun kemudian Salma mendapat peng­hargaan inter­nasional, Anugerah Sastra dari Aso­siasi Sastra­wan Asia dan Af­rika. Sementara itu, dari waktu ke waktu dan de­ngan berbagai cara, Israel berusaha menindas Palestina. Tapi bersamaan dengan itu pula perlawanan demi perlawanan terus berlanjut. Ya, bangsa Palestina akan kembali, kata Salma ber­ulang-ulang.

Kami akan kembali bersama badai
bersama guntur dan hujan meteor
bersama harapan dan nyanyian
bersama kepak sayap rajawali
bersama fajar yang tersenyum menyapa gurun
bersama pagi di atas gelombang laut
: dengan panji-panji berdarah
dengan pedang-pedang megkilap
dan dengan tombak-tombak runcing menoreh langit!

Betapa, di balik kelembutan, keindahan, dan keteduhuan yang me­nyosok pada ung­kapan-ungkapannya itu menyeruak gairah un­tuk me­lawan. Gairah yang begitu keras dan tajam tak kenal ampun demi ter­­capainya sebuah harapan.

Semangat yang menggelora pada sa­jak-sajak Salma tampaknya tak kalah garang dengan ‘gairah’ intifada yang men­jalari sosok-sosok ring­kih pemuda-pemuda belia berwajah polos, put­ra-putri sang kekasih, Palestina.

Simak saja, selang sehari setelah ser­dadu Isra­el membumi­hanguskan markas Arafat, sebuah bom meledak di se­pan­jang rel kereta di Tel Aviv (Minggu, 30/6/2002), nyaris melumat satu gerbong berisi 500 penumpang.

Sebelumnya, awal Juni, dua kali aksi bom bunuh diri telah mene­­waskan 26 orang Yahudi. Aksi serupa, terjadi di ber­bagai tem­pat. Dalan kurun dua ta­hun terakhir saja, tercatat lebih dari 70 kali aksi bom bunuh di­ri di wilayah Israel yang dilakukan pejuang‑pe­ju­ang Palestina. Lebih dari 240 warga Yahudi binasa.

“Aksi bom bunuh diri itu merupakan bagian dari perjuangan su­­ci rakyat Palestina untuk merebut kembali hak‑hak mereka yang secara semena‑mena dirampas kaum Zionis Yahudi,” ujar Paus She­nuda III, Pemimpin kharismatik Gereja Koptik Mesir.

Israel –tentu saja dibantu sekutu paling karibnya, Amerika– mati-matian melakukan berbagai upaya membendung aksi-aksi jihad itu. Termasuk, membumihanguskan “istana” Arafat.

Israel boleh saja ngotot bahwa tindakan keras yang mereka la­­­kukan adalah untuk meng­hen­tikan aksi-aksi itu. Ia boleh mati-ma­tian memekik-mekik bahwa Palestina lah biang keladinya.

Seba­lik­nya, dunia pun tahu persis bahwa para syuhada Palestina ber­gerak jus­tru karena hak-hak bangsa mereka dirampas. Siapa pun ta­hu be­laka bahwa Israel memburuk-burukkan Palestina di mata dunia se­mata untuk menutupi keborokan perilakunya sendiri.

Namun perilaku Yahudi seperti itu memang tak cuma kepunyaan Israel di bawah kepemimpinan Sharon. Di lingkungan kita sendiri, masih se­ring kita temukan orang-orang macam itu. Se­lalu akan kita jumpai orang yang memburukkan orang lain demi menutupi bo­rok dirinya di mata umum.

Boleh saja ia bersuka cita sementara. Tapi tunggulah. Se­per­ti kata Salma dari Haifa:

Kami akan kembali bersama badai,
ber­sama guntur,
bersama tombak-tombak
runcing menoreh langit…

Lihat saja. ***

* Bandung – 300602


5 Tanggapan to “Salma dari Haifa”


  1. 1 catilafeet
    Januari 6, 2009 pukul 4:20 am

    Stop Genoside in palestine! Aksi yang dilakukan Israel sekarang ini tak lebih dari upaya genosida bagi bangsa Palestina…. kalau dunia mau peduli dengan genosida dengan rakyat Rwanda atau Camp konsentrasi Nazi… kenapa dunia nggak lagi peduli dengan penderitaan bangsa Palestina…. ???
    Stop Violence Actions! Peace For palestine

  2. 2 curahbebas
    Januari 16, 2009 pukul 9:36 am

    Ya… itulah yang memprihatinkan. Dunia, bahkan negara-negara Arab tetangga sangat dekat Palestina, seakan tak berdaya sama sekali. Kita dari jauh, hanya bisa berdoa, semoga kekejaman itu segera berakhir.

  3. 3 fahmee el misbach cinta palestina
    Juni 19, 2010 pukul 4:52 am

    allohu akbar…….. israel dan amerika akan merasakan api neraka.


Tinggalkan komentar


Maret 2008
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31