Posts Tagged ‘kampanye

11
Mar
08

Pil Kadal

OBAT apa yang manjur untuk kudis, kurap, panu, koreng, dan sejenisnya? Kalau soal itu ditanyakan pada tukang obat yang menggelar dagangan di terminal atai di emperan pasar kaget, jawabannya mungkin pil kadal.

Hiy!

Ya, maksudnya, pil yang dibuat dari kadal. Di beberapa daerah, reptil ini diyakini mengandung zat-zat penyembuh. Karena tak banyak yang sampai hati makan kadal mentah-mentah, atau kadal yang disate, digulai, dan lain-lain, maka tukang obat membuatnya sebagai ramuan.

Agar gampang dikonsumsi, ramuan itu dibentuk pil, kadang kapsul. Tentang apakah pil kadal itu manjur atau tidak, entahlah. Sebab, memang cuma berupa arang (entah betul-betul arang kadal, entah arang apa pula) yang diremukkan, lalu dicetak berbentuk butiran-butiran pil. Hitam. Mirip norit.

Bahwa ada orang yang merasa dikadalin karena penyakitnya tak kunjung sembuh meski sudah minum berbutir-butir pil kadal, ya salah sendiri. Berobat malah ke tukang obat jalanan di terminal.

Tapi kalau ada orang yang mendadak jadi rajin keluar masuk pesantren (dulu konon banyak santri sakit kulit), terminal dan pasar-pasar, menemui para santri, sopir dan pedagang yang sedang kerepotan menata ekonomi super mikronya, bisa dipastikan ia tidak sedang cari tukang obat penjual pil kadal.

Soalnya, ia sangat bugar. Urusan kesehatan, biasanya ia berurusan langsung dengan dokter pribadi. “Saya akan memperjuangankan kesejahteraan, sehingga mereka tidak akan kesulitan lagi bila ada anggota keluarga yang sakit. Begitu pula untuk biaya pendidikan anak‑anaknya, kalau saya terpilih,” begitu kira-kira kata sang tokoh.

Nah, jelas kan? Sekadar jani. Jual kecap. Mungkin malah cuma omong kosong untuk meraih simpati agar para santri, tua kampung, sopir, pedagang, warga kebanyakan, mendukung atau bahkan memilihnya saat ia beli –eh ikut– Pilkadal.

Benda macam apa pula Pilkadal?

kadal.jpgKata orang, pil yang ini sih bukan obat sakit kulit, melainkan –konon– obat mujarab bagi borok-borok demokrasi. Dengan Pilkadal, konon lagi, rakyat bisa langsung memilih kepala daerah mereka, sebagaimana ketika mereka memilih ketua rukun tetangga, rukun warga, atau kepala desa.

Itu kalau pemilihannya berlangsung jujur, adil, lurus, polos, tanpa tekanan, tanpa politik uang. Dan –sekadar diketahui– pola pemilihan kepala daerah secara langsung (entah itu bupati, entah itu gubernur) sangat membuka celah yang amat lebar bagi para pebisnis politik dan para politisi yang lebih suka membisniskan politik.

Kita tentu maklum, pemilihan kepala daerah secara langsung memerlukan dana sangat besar, mulai dari ongkos sosialisasi ketentuan, kampanye para calon, biaya penyelenggaraan, upah para penyelenggara, dan lain sebagainya.

Padahal pemerintah tidak cukup makmur untuk menggelontorkan dana tanpa batas bagi terselenggaranya demokrasi ala ketua RT ini pada daerah tingkat dua dan daerah tingkat satu.

Di Jawa Barat, misalnya. Hari-hari ini warga dan –terutama– para politisi sedang dilanda demam hebat untuk memperebutkan posisi nomor satu di pemerintahan provinsi. Selain itu, dalam waktu dekat beberapa daerah (baik tingkat I maupun tingkat II di seantero tanah air), juga menggelar pilkadal.

Pemerintah –pusat dan daerah– tentu saja sudah menyusun anggaran untuk membiayai perhelatan demokrasi ini. Namun sudah bisa dipastikan dana itu tidak akan mencukupi.

Lihat saja, daerah-daerah yang menyelenggarakan Pilkadal. Dari kas anggarannya sendiri, kalau dirata-rata hanya mampu menyiapkan dana Rp 2 milyar. Paling pol, Rp 5 milyar lah. Atau bisa lebih besar lagi, tergantung jumlah calon pemilih.

Nah, di sinilah celah itu terbuka. Orang atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan-kebijakan yang mungkin diambil oleh kepala daerah terpilih, tentu tak akan menyia-nyiakan celah itu.

Pihak-pihak yang selalu berlindung di balik bisnis “Spanyol” alias separo nyolong, pasti akan mengerahkan segala sumberdaya dan dananya agar kepala daerah terpilih merupakan orang yang tidak akan mengusik bisnis mereka.

Jika kalangan yang menguasai uang ini bisa mengongkosi seorang calon kepala daerah supaya terpilih, tentunya sang kepala daerah terpilih akan memihak mereka. Bagaimanapun, kebijakan mereka nanti tidak akan bisa terlepas dari “balas budi” sang pemodal.

Jika sudah sampai pada tahap demikian, semangat demokratisasi yang terkandung dalam pemilihan langsung kepala daerah ini, tentu akan sekadar jadi bungkus atau topeng yang akan membuat kita “seolah-olah” demokratis. Selebihnya, semata jadi ajang pemuas syahwat politik para petualang yang selalu haus kekuasaan.

Itu sebabnya banyak yang sangat khawatir bahwa Pilkadal akan jadi ajang pesta politik sangat berbau duit. Apalagi, meski samar-samar, aroma pesta pora politik uang itu terasa di berbagai pemilihan kepala daerah.

Setidaknya kalangan elite di daerah-daerah mulai menjadikannya sebagai bahan diskusi, spekulasi, bahkan ada yang sengaja mempersiapkan diri untuk jadi tim sukses bagi mereka yang bertarung habis-habisan di bursa pilkadal.

Sebagai contoh kecil, ada partai yang terang-terangan mematok harga bagi orang atau tokoh yang ingin menjadikan partai itu –tentu yang kedudukannya di parlemen lokal cukup signifikan– sebagai gerobak politik menuju kekuasaan.
Semua tentu sepakat, pemilihan langsung kepala daerah bisalah dianggap sebagai wujud sejati kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpinnya. Jika berlangsung secara tepat sesuai dengan semangatnya, momentum ini tentu merupakan peningkatan kualitas demokrasi.
Setidaknya, keinginan rakyat untuk memilih pemimpin mereka tidak lagi dialirkan melalui “wakil” yang selama ini justru tampak lebih sering ngadalin pihak yang diwakilinya.

Apalagi rakyat masa kini di mana pun sudah tidak sudi lagi terus menerus dikibuli. Mereka pasti akan memilih pemimpin yang paling sesuai aspirasinya, dan tidak akan menjatuhkan pilihan pada orang yang cuma berkoar-koar mengobral janji seperti tukang obat yang berbusa-busa jual pil kadal.

Kecuali kalau mereka memang senang dikadali. ***

Naskah ini telah direvisi ulang setelah disiarkan POS KUPANG 29027 dan BëBAS 150205

05
Feb
08

Politik Pamer Wajah

pamerwajah.jpg

WAJAH-wajah itu seperti muncul begitu saja. Entah dari dalam tanah, entah dari langit. Atau malah dari antah-berantah dibawa angin lalu menempel di pepohonan di tepi jalan, di tiang-tiang listrik, di tiang rambu lalulintas, di pintu pagar, di gerobak kaki lima, di jendela warung, dinding toko. Di semua penjuru.

Ya, sepanjang tiga pekan masa kampanye legislatif, ada hal baru yang turut membuat pesta-pestaan demokrasi tampak lebih semarak. Selain atribut partai politik dalam berbagai ukuran, entah itu bendera, umbul-umbul, poster, kain rentang sampai baliho gedegede, kota-kota mendadak semarak oleh potret-potret diri.

Ada yang memasang poster-poster foto diri seukuran surat kabar. Ada yang memasangnya sebagai ikon melengkapi tulisan pada kain rentang berisi ajakan memilih dirinya. Ada yang menyebarkannya berupa kartu nama bergambar, atau kartu pos.

Macam-macam.

Wajah-wajah itu mendadak seperti mengepung kota. Ke mana pun pandangan di arahkan, mata tertumbuk pada kumis tebal, pada wanita berkebaya, pada wajah garang seorang mirip pendekar, pada wajah manis perempuan muda, pada sosok tua tapi imut-imut. Pada wajah entah siapa.

Seperti poster-poster “Wanted” atau “Most Wanted” dalam film koboi, gambar-gambar itu menampilkan wajah para calon wakil rakyat, juga para calon senator alias calon anggota dewan perwakilan daerah.

Saking banyaknya wajah bertebaran, sulit sekali publik mengenalnya. Apalagi kebanyakan di antara mereka bukanlah tokoh yang kerap tampil di televisi dan koran. Bukan pesohor. Pokoknya wajah, wajah, dan wajah.

Seorang teman –bukan calon anggota legislatif, bukan calon senator– iseng mencetak 200 foto pada kertas seukuran satu halaman koran tabloid. Pada malam ketujuh masa kampanye, ia gerilya sendiri menempelkan foto-foto itu di 200 titik strategis di antara foto para calon anggota legislatif dan foto calon senator.

“Jangan Pilih Saya” demikian tulisan tercetak hitam tebal di bagian bawah foto itu. Kemudian nomor HP. Maksudnya, untuk mengecek adakah yang memperhatikan foto kampanye yang nyeleneh itu dan meresponnya entah lewat SMS atau melalui kontak telepon.

“Ternyata kampanye model itu nggak efektif,” katanya sambil tertawa ngakak. Sampai akhir masa kampanye, dan seluruh atribut parpol atribut caleg atribut calon anggota DPD –juga atribut teman saya yang bukan calon apa-apa itu– dibersihkan, ia tak menerima satu pun SMS, apalagi kontak telepon.

Ini persoalan komunikasi politik sekaligus marketing katanya berteori. Eantah apa pula yang maksudnya. Yang jelas, kata dia para calon anggota parlemen itu tidak taktis. Semua terinspirasi oleh kampanye calon-calon Ketua RT. Hanya menjiplak, tidak mengkreasi hal baru

Seolah-olah dengan memampang foto diri sebanyak mungkin, orang yang tidak kenal akan segera mengenal. Kalau cuma dua tiga wajah seperti dalam pemilihan Ketua RT, misalnya, orang mudah mengenal dan membedakan. Selain itu, wajah yang fotonya terpampang pun, setidaknya dikenal oleh lingkungan komunitasnya.

Lha, ini tiba-tiba saja uncul seribu wajah. Entah Budhi, entah Ivan, entah Danu, entah Hantu, entah siapa lagi. Semua tampil dalam format hampir sama, pasfoto dalam ukuran besar, berderet-deret di tepi jalan, di batang pohon, bahkan di kakus umum. Pesan yang ditulisnya pun relatif sama. Lalu, siapa peduli?
Betul juga.

Para politisi kita ini tampaknya tidak terlalu cerdik mencuri perhatian. Mereka berpikir sederhana saja, pasang gambar wajah di mana-mana maka orang pun akan mengingatnya di hari penusukan dan mencoblos gambar persis di ujung hidungnya.

Nyatanya, hasil pemilu –meskipun masih sementara– menunjukkan tampaknya unsur prominensia alias ketokohan dan keterkenalan masih sangat mempengaruhi para pemilih.

Itu sebabnya wajah-wajah dan nama-nama yang relatif sudah akrab sajalah yang memperoleh banyak pemilih. Contoh paling konkret tampak pada pemilihan calon anggota senator alias calon anggota DPD. Bagi warga Kalsel misalnya, nama HM Said tentu tak asing. Maka ia pun berada di deretan atas pada daftar calon yang akan mewakili daerahnya.

Begitu halnya tokoh semacam Sarwono Kusumaatmadja yang unggul dicalonkan warga DKI Jakarta sebagai senator mereka, Ginandjar Kartasasmita yang dijagokan warga Jawa Barat, atau Mooryati Sudibyo di Jawa Tengah dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang jadi harapan warga Yogya.

“Tuh, kan? Berapa ribu pun foto dicetak dan disebar di seantero penjuru kota, kalau itu wajah entah siapa, ya entah siapa pula yang akan tertarik,” kata teman saya ini.
Apalagi, katanya, rakyat kita sekarang sudah bisa lebih mudah mengenal wajah tokohnya.

Peran media massa, cetak dan –terutama– elektronik sangatlah besar pengaruhnya. Asal sering mejeng di koran, kerap tampil di televisi, itulah yang dipilih.

“Jika para calon wakil rakyat itu cerdik, mestinya mereka sering tampil di media. Persoalannya kemudian adalah, bagaimana agar media rajin mengutip pendapatnya dan menampilkan gambarnya. Kalau sehari-hari cuma bengong, mana ada pers akan meliput. Lalu ujuug-ujug menampilkan diri sebagai calon wakil rakyat, mana ada rakyat akan sudi memilihnya,” kata dia.

Apalagi wajah kadang mengecoh. Orang alim, saleh, baik hati, jujur, bisa saja berwajah sangar. Begitu sebaliknya, seorang maling, pembunuh kejam, penipu licik, bisa pula berwajah inosen, ramah dan tampak lembut.

Karena itu ada yang bilang jangan mudah terkecoh wajah dan penampilan. Apalagi pada masa kini ketika penampilan, wajah, pakaian, bungkus, kemasan, sering jadi ukuran penilaian orang. Alangkah naifnya jika wajah dan penampilan mampu menarik perhatian, tapi buah pikirannya kosong melompong.

Mungkin karena itu, beribu wajah dipampang di seantero penjuru kota hingga ke lorong-lorong kampung, tak banyak yang memperhatikan karena mungkin memang tidak menarik. Rakyat tidak merasa perlu mengenal tokoh entah siapa itu, karena tak pernah berbuat sesuatu pun bagi mereka.

“Jadi apa bedanya dengan 200 foto wajah yang saya cetak kemudian ditempel di 200 tempat itu,” kata teman tadi sambil menunjuk printer lasernya di sudut ruangan. Masih ada selembar kertas A-1, sisa hasil cetakan foto yang dimaksudnya.

Foto monyet! ***
* Bandung 130404

05
Feb
08

Kecap Nomor 1

dukun1.jpg

MALAM Jumat. Belum larut benar. Tapi jantung kota sudah mulai senyap. Namanya juga kota kecil. Meski berpredikat sebagai ibu kota provinsi, suasananya tetap saja belum seramai kota yang sudah mulai tumbuh sebagai habitat metropol.

Sebuah gedung megah di tepi jalan raya antarkota itu jugta tidak tampak istimewa. Hanya sosoknya memang tampak lebih besar, cahaya lampu menempias dari pekarangannya yang dirindangi pepohonan.

Sekelompok kecil orang tampak sedang melakukan sesuatu di salah satu sudut gedung itu. Dua berdiri. Satu lainnya tampak berjongkok sambil sibuk menata sesuatu. Yang lain, kelihatan menabur-nabur benda kecil — ternyata bunga rampai.

Sesaat kemudian asap mengepul perlahan dari benda –belakangan diketahui ternyata anglo kecil– yang tadi ditata orang yang berjongkok itu. Segera saja wangi dupa merebak, berpadu dengan semerbak campuran bebungaan.

Ada apa gerangan?

Jangan heran kalau saya katakan adegan tadi adalah satu di antara ‘ritus politik’ menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). Ya, ritus politik, sebab yang melakukannya adalah orang-orang yang sedang demam politik dan mencoba-coba peruntungan jadi politisi.

Fragmen nyata itu benar-benar terjadi di sebuah kota kabupaten di Jawa Barat belum lama ini. Seorang rekan wartawan yang –entah karena usil atau memang jeli menangkap gejala– mengamati dan melacak orang-orang yang sekilas dilihatnya di komplek gedung DPRD setempat pada malam jumat itu.

Dia amatai ritus aneh tersebut, kemudian diam-diam membuntuti orang-orang tersebut sampai ke suatu alamat. Esoknya, ia sambangai alamat itu dan bertemu dengan salah seorang yang pada malam sebelumnya dia lihat pada upacara ganjil tadi.

E, ternyata orang itu adalah salah seorang calon anggota legislatif. Bayangkan, calon anggota legislatif! Malah yang dengan bangga ia mengakui segala gerak ‘perjuangan’nya untuk lolos sebagai calon wakil rakyat.

“Itu kan sekadar ikhtiar, dan tidak ada aturan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang tindakan tersebut,” ujarnya. Ia pun kemudian menceritakan sudah mendatangi beberapa tempat keramat dan menemui orang-orang ‘pintar’ yang diyakininya bisa memberi jaminan spiritual.

Begitulah, ada yang secara khusus tabur bunga dan bakar kemenyan. Di kota lain, ada yang tujuh kali mengitari gedung dewan, kemudian komat-kamit di pojok bangunan lantas menjejak-jejakkan kaki ke tanah di halaman gedung.

Seorang teman menceritakan, kisah seru lain dengan bumbu-bumbu perklenikan yang jauh lebih dahsyat. Berduyun-duyun orang mengadu nasib jadi anggota dewan, dengan bantuan dukun.

“Tentu saj sang dukun mendulang untung. Lebih seru lagi bila kita bisa mengungkap, berapa juta, atau miliar rupiah kira-kira omzet para dukun yang mendadak jadi penasehat khusus para calon legislator ini,” kata teman saya.

Yang lebih lucu pun ada. Seorang aktivis partai dan kini jadi calon anggota legislatif, berulangkali menerima tamu para calon anggota legislatif dari partai lain –malah ada yang dari partai pesaing berat partainya– untuk tujuan sama.

Ternyata sang aktivis partai yang juga jadi calon anggota legislatif itu, sebelumnya dikenal sebagai paranormal. Bahkan hingga kini ia mengaku punya kemampuan lebih. “Tapi, saya tak akan gunakan itu untuk kepentingan politik,” katanya. Ya, deh!

Perdukunan kayaknya belum lepas benar dari kultur bangsa ini. Bahkan dunia politik pun masih saja dihiasi bau-bau dupa. Eantah bagaimana jadinya keputusan-keputusan parlemen di tiap tingkatan nanti jika lembgaga legislasi itu diisi orang-orang seperti itu.

Akan lebih paerah jika masuk pula anggota-anggota legislatif yang bungul-nya tak kepalang seperti yang terjadi di sebuah kota tak jauh dari tempat tinggal saya. Seorang calon anggota legislatif (caleg) yang mewakili salah-satu partai, kedapatan tak mampu membedakan fungsi sebuah perangko dan sebuah materai.

“Aib” diketahui saat yang bersangkutan mengembalikan formulir yang harus diisi sebagai persyaratan menjadi caleg. Saat para staf KPU memeriksa berkas-berkas yang bersangkutan, mereka terperangah. Pada kolom yang seharusnya dibubuhi meterai Rp 6.000 (sebagai bukti legal keabsahan isi pernyataan), yang tertempel ternyata perangko!

Bayangkan, bagaimana jadinya jika calon anggota legislatif macam itu lolos dan terpilih mewakili rakyat –misalnya karena kesibukan KPU, tak sempat memperhatikian materai atau bukan. Gawat. Lebih dari itu, tidak pula tertutup kemungkinan, apa yang terjadi pada salah seorang caleg ini, terjadi pula di daerah lain. Mungkin tidak dalam konteks yang berbeda, tapi hakikatnya sama: tidak mencukupi syarat-syarat kepatutan.

Genderang kampanye ditabuh. Para aktivis partai, para acalon anggota legislatif para caon ‘senator’ (dewan perwakilan daerah) mulai mencurahkan kecapnya di mana-mana. Pasti kecap nomor satu. Tapi, rakyat pun mestinya tidak mudah lagi dikibuli.
Bayangkan kalau orong-orang dungu dan dunia perklenikan terang-terangan dibawa masuk ke arena politik. Logika akal sehat mengatakan, ini jelas sebuah kemunduran bagi pendewasaan politik bangsa Indonesia.

Boleh jadi, fenomena ini menunjukkan kemerosotan luar biasa kualitas para politisi atau calon politisi di negeri ini. Persoalan faktual yang harusnya dinalar dengan akal, coba ditawar dengan kekuatan magis, mistis, klenik dan sebangsanya.

Jika saja polah aneh para caleg ini mewakili sikap sebagian besar calon politisi atau para politisi kita, apa yang bisa kita harapkan dari Pemilu 2004. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk cermat betul mengambil sikap dan pilihan.

Bersikaplah secara benar, memilihlah secara tepat. Jangan pilih politikus yang punya track record buruk, terlibat korupsi atau kasus hukum, pecandu narkoba, atau bermasalah dengan lingkungannya.

Juga jangan pilih politisi yang pakai kekuatan dukun untuk memenangkan dirinya. Sebab, celakalah bila negeri ini nanti dipimpin orang-orang seperti ini. Bayangkan apa jadinya misalnya bila undang-undang dibuat, lewat jasa para dukun.

Jangan pula memilih politisi yang jelas-jelas dungu, sebab rakyat sendiri yang akan rugi. ***
* Bandung 090304




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031