Posts Tagged ‘hasrat

05
Feb
08

Gigo-gigo

gigogigo.jpg

Tak cuma lelaki, perempuan pun berburu pemuas hasrat

SORE itu seorang laki-laki berusia sekitar 24-25 tahunan, gagah, memarkir sepeda motor Honda Tiger berwarna hitam di depan sebuah warung internet (warnet) di kawasan elite di Bandung. Ia masuk warnet. Sepuluh menit kemudian sudah keluar lagi dan berdiri santai di teras.

Helm biru tua tidak lepas dari tentengan tangan kirinya sejak ia memarkir sepeda motornya tadi hingga keluar lagi dari warnet. Sesekali lelaki berambut ikal pendek itu melirik jam tangan.

Beberapa saat kemudian, sebuah Toyota Altis warna silver, yang melaju di jalanan di seberang warnet itu mengurangi kecepatan. Sepotong wajah perempuan berkacamata hitam menyembul dari balik saat kaca jendela yang perlahan turun.

Ia terlihat melirik ke arah pemuda yang berdiri di warnet. Setelah itu, mobil tersebut kembali melesat ke arah pusat kota. Sejurus kemudian laki-laki yang sejak tadi berdiri di depan warnet itu menghampiri sepeda motornya kemudian melesat pula ke arah yang dituju sedan tadi.

Adegan di depan warnet tadi itu ternyata semacam kontak transaksi. Sang laki adalah seorang gigo-gigo, demikian kalangan wanita tertentu di Kota Kembang menyebutnya. Kata lain untuk gigolo, lelaki sewaan.

Hal-hal kecil seperti tadi — berdiri di depan warnet sambil menenteng helm, misalnya– adalah bahasa isyarat yang mereka gunakan. Kontak berlangsung di warnet, lewat chatting sejenak.

Setelah pertemuan sekilas macam adegan di depan warnet itu, biasanya si wanita menuju suatu tempat untuk memarkir kendaraannya. Entah di areal parkir supermarket, rumah makan, atau lahan parkir umum lain. Si pria, dengan sepeda motornya menyusul untuk menjemput. Lalu mereka meluncur ke suatu tempat yang disepakati.

Hotel bintang? Bukan. Pokoknya, menghindari hal-hal yang akan meninggalkan jejak. Biasanya ‘main’ di tempat kos, atau di apartemen. Tidak di hotel sebab harus mengisi daftar tamu dan segala macam. Kontak pun dilakukan lewat chatting di internet agar tak mudah dijejaki.

“Soalnya, kalau SMS, apalagi kontak telepon, agak riskan. Bisa terlacak, misalnya lupa menghapus pesan di ponsel. Siapa tahu pula bocor,” kata seorang wanita pengusaha yang mengelola bisnis di Bandung, Jakarta, Surabaya dan Balikpapan.

Wanita pengusaha ini adalah nara sumber yang — tentu setelah melalui negosiasi alot dan berbagai perjanjian– bersedia memandu seorang rekan wartawan menelusuri pola gaul kalangan wanita mapan di kota kami.

“Gaul macam ini bukan barang baru, kok. Di tiap kota juga ada. Saya aja punya teman kencan di Batam dan Balikpapan yang kapan dibutuhkan bisa dikontak di tempat-tempat itu,” katanya seraya memberi gambaran bahwa pola kontak berbeda antara di satu tempat dengan di tempat lain.

Penggunaan internet ‘kamar chatting’ misalnya, baru marak dua tahun terakhir. “Ini pun baru populer di Bandung dan Jakarta. Kalau di kota-kota lain, setahu saya masih populer dengan SMS,” kata nara sumber ini.

Ia mengaku tahu modus yang dilakukan karena sering mengamati peristiwa seperti itu. Selain juga lantaran kenal dengan sejumlah lelaki penghibur karena sesekali terlibat ‘bisnis’ dengan mereka. “Yang itu tadi Si Tiger Hitam. Saya kenal. Soalnya pernah kami sewa, rame-reme, dengan teman dari Jakarta,” katanya tersipu.

Fenomena macam ini sebenarnya bukan barang baru di kota besar. Hanya saja model kontak, pola transaksi, dan cara pengaturan kencan yang mungkin disesuaikan dengan gaya kehidupan yang berkembang pada zamannya.

Dulu, misalnya, para gigo-gigo biasanya menunggu kontak di pusat-pusat perbelanjaan. Umumnya, mereka memasang tanda-tanda khusus, seperti memegang gulungan koran, pakaian warna tertentu, atau aksesori seperti gelang dan kalung yang khas. Pola kontak seperti ini masih digunakan di beberapa kota.

“Tapi di Bandung dan Jakarta sudah tidak sepreti itu lagi. Sekarang mereka lebih selektif dan punya aturan main sendiri. Kontak pun lewat internet, atau malah pasang iklan terselubung di surat kabar. Hanya komunitas macam kami ini yang mengenalinya,” kata wanita paro baya yang masih tampak charming dan seperti 10 tahun lebih muda ini.

Lalu, berapa tarif untuk para laki-laki pemuas birahi itu? “Sekitar satu hingga dua juta per tiga jam. Diapakan juga mau, asal bayaran dan waktunya cocok. Temen gue pernah make Si Tiger Hitam itu, cuma disuruh menari telanjang di sebuah room karaoke,” imbuh wanita beranak tiga ini. Enteng sekali.

Ya, enteng dan ringan layaknya membicarakan menu santap siang. Padahal yang ‘dibahas’ itu urusan yang mestinya bikin rikuh sebab sangat menyangkut privasi, terutama pola hubungan antar lawan jenis. Di luar ikatan yang sah pula.

Boleh jadi memang seperti itu perubahan perilaku yang terjadi pada sebagian warga kota hari-hari ini. Makin longgar. Kian terbuka dan makin permisif alias serba boleh, nyaris atas segala hal.

Itu baru satu segi, soal lelaki pemuas hasrat. Fragmen nyata seperti diilustrasikan di atas itu benar-benar terjadi, seakan menunjukkan bahwa pada masa kini bukan para lelaki saja yang berhidung belang, kaum perempuan pun ada yang sudah secara aktif mengambil peran.

Di berbagai kota –terutama yang pusat pertumbuhkembangan suatu wilayah– urusan esek-esek dan perselingkuhan macam itu sudah makin beragam bentuk dan polanya. Kadar ‘keterbukaannya’ mungkin berbeda, meski ada kemiripan atau bahkan kesamaan, yakni segalanya masih serba remang, serba tersamar, serba terselubung.

Artinya, bagi kelompok yang sudah terbiasa hidup dan bersinggungan komunitas seperti itu, atau bagi mereka yang bisa larut di dalamnya, segalanya serba terbuka, terang benderang, transparan dan tanpa basa-basi kemunafikan lagi. Namun bagi kalangan awam, tetap saja terselubung.

Betapa pun kecenderungan macam itu tetap saja ada, tumbuh dan berkembang menyertai perkembangan perilaku masyarakatnya. Tidak semata di kota-kota macam Jakarta, Bandung dan Surabaya, tapi juga di kota yang lebih kecil. ***




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031