Posts Tagged ‘denpasar

30
Nov
08

Penebar Maut

maut

PEKIK takbir menggelegar di Gedung Nari Graha Denpasar, tempat sidang pengadilan atas Imam Samudra –satu di antara terdakwa dalam kasus peledakan bom di Kuta, Bali, 12 Oktober 2002.

Rabu, 10 September 2003 sore, Imam divonis mati. Sebelumnya, majelis hakim juga memvonis mati Amrozi. Lelaki Lampongan ini didakwa telah berkomplot dengan Imam dan kawan-kawan untuk meledakkan bom di Bali.

Tuhan Maha Besar. Demikian arti pekikan Imam. Hanya dia yang tahu apakah pekikan ini memancar dari relung kesadarannya, langsung memuji Tuhan Sang Maha Pemilik Hidup atau semata penghiburan ketika hukum dunia yang mengadilinya dia anagrap tak lagi memberi peluang lain kecuali mati.

Betul, bahwa hidup mati manusia di tangan Tuhan. Tapi betul pulalah bahwa manusia bisa jadi perantara dalam urusan itu. Jika apa yang didakwakan itu benar adanya, berarti Imam dan dan kawankawan pun ikut jadi perantara pencabut nyawa melalui aksinya. Lebih 200 orang mati dalam sekali sentak bom di Kuta, 12 Oktober 2002.

Boleh jadi banyak orang setuju agar orang-orang seperti ini dihukum mati. Namun kita juga tidak tahu persis apakah dengan mematikan orang-orang macam Imam, Amrozi, dan lain-lain, aktivitas teror –jika memang benar orang-orang ini teroris– lantas akan surut, atau bahkan mati sama sekali?

Membiarkan orang-orang semacam Imam –jika ia memang betul teroris– dan jaringannya beroperasi dengan bebas, tentu saja tidak benar. Begitu pula membiarkan para kriminal besar, para penjahat narkotika, dan para koruptor.
Membunuh orang, apa pun alasannya –termasuk menjalankan ketentuan hukum (manusia)– juga tetap salah, sebab kehidupan adalah hak Sang Maha Pemilik Hidup, sebagaimana kematian adalah hak Sang Maha Pemilik Maut.

Itu sebabnya, vonis mati seringkali masih jadi perdebatan. Eksekusinya pun, kadang baru dilaksanakan bertahun-tahun setelah vonis, sekaligus memberi kesempatan bagi terpidana untuk mencoba melakukan berbagai upaya hukum, termasuk pengampunan dari kepala negara.

Hukuman mati terdapat di seluruh belahan bumi sebagai warisan hukum sejak awal peradaban manusia, namun seiring dengan perkembangan peradaban itu sendiri, masyarakat dunia mulai meninggalkan hukuman mati, misalnya di banyak negara khususnya Eropa, meskipun sejumlah negara lain masih menerapkannya, termasuk Indonesia.

Di Nigeria, misalnya. Amina Awal, seorang perempuan muda hari-hari ini sedang menanti hukuman mati. Pengadilan menganggapnya terbukti melakukan hubungan badan di luar nikah. Hukumannya? Rajam sampai mati. Eksekusi dilaksanakan Januari tahun depan sampai ia menyapih anak hasil perzinahan yang menyeretnya ke hukuman mati itu.

Di Saudi Arabia, seorang perawat asal Inggris, Deborah Parry divonis mati dengan tuduhan melakukan pembunuhan terhadap sesama perawat, Yvonne Gilfort (55). Korban yang berasal dari Australia ini ditikamnya sebanyak 13 kali.

Parry akhirnya selamat dari hukuman mati setelah mendapat grasi dari Raja Fahd, dan pengampunan dari kakak korban yang meminta uang tebusan (uang darah) sebesar 750.000 Poundsterling.

Tapi Warni, seorang wanita pekerja asal Indonesia, tewas dengan kepala menggelinding. Ia dihukum pancung atas tuduhan membunuh majikannya, sementara rekan senegaranya, Kartini Kartini yang didakwa berzina hingga melahirkan seorang anak, lolos dari hukuman mati berkat campur tangan pemerintah Indonesia.

Para pemerhati hukuman mati pun tentu masih ingat legena Margaretha Gertruide Zelle yang beken dengan nama Mata Hari, seorang penari yang kemudian dituding jadi mata-mata. Atau drama kematian Maria Antoinette yang menjalani pancung dengan guilotin dan Joan of Ark yang dihukum bakar sampai mati karena dianggap menyimpang dari adat.

Terlepas dari pro-kontra, hukuman mati bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan hukuman terberat untuk memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan, di sisi yang lain, hukuman mati adalah hukuman yang tidak bisa dianulir atau tertutup kemungkinan revisi.

Jika hukuman mati telah dilaksanakan, dan ternyata dikemudian hari ditemukan bukti-bukti dan fakta lain yang menyatakan terpidana bukan pelaku kejahatan itu, maka tertutup sudah upaya revisi baginya.
Mungkin karena itulah sejumlah aktivis kemanusiaan melontarkan ketidak setujuannya terhadap hukuman mati, meskipun hal itu kadang berbenturan dengan aktivis HAM pada kasus-kasus narkotika.

Masyarakat di tanah air kita pun masih terpecah dua dalam menadang hukuman mati. Banyak yang setuju, ada juga yang menolak.

Di tanah air kita, hukuman mati mengadopsi Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Vonis bisa dijatuhkan dalam peradilan umum maupun militer dan berbentuk hukuman tembak sampai mati.

Dalam KUHP sekurang-kurangnya ada sepuluh jenis kejahatan yang terancam hukuman mati, antara lain perbuatan makar, membunuh Kepala Negara, hingga pembunuhan berencana.

Perbuatan kriminal di luar KUHP diatur dalam sejumlah undang-undang, yakni UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang penyalahgunaan Narkotika, dan –yang paling baru– Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Sejarah mencatat, Indonesia telah beberapa kali menghukum mati para terpidana mati, baik itu pelaku kriminal maupun tahanan politik. Misalnya Kusni Kasdut (pembunuh dan perampok), Kacong Luranu (pembunuhan) dan Chen Tien Chong (kasus narkoba), Azhar bin Muhammad (pembajak pesawat Woyla), juga para terpidana dalam kasus pemberontakan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia.

Di beberapa penjara, kini sejumlah terpidana mati juga menunggu eksekusi. Bisa dipastikan, semuanya dihukum mati karena tindakan kriminal, membunuh atau memproduksi dan mengedarkan narkotik, sebab tak ada lagi trahanan politik.

Namun rasanya belum pernah ada koruptor yang divonis mati, apalagi sampai dieksekusi. ***

Bandung 170903




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031